JAKARTA - Makassar terus menunjukkan upayanya dalam menciptakan ruang kota yang lebih ramah pejalan kaki. Salah satu fokus utamanya adalah keberadaan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tersebar di berbagai titik kota. Fasilitas ini menjadi simbol penting dari niat kota dalam menyediakan akses penyeberangan yang aman, sekaligus bagian dari wajah perkotaan yang lebih modern.
Namun, di balik wujud fisiknya yang terlihat berdiri tegak, sejumlah JPO di Makassar belum sepenuhnya berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa di antaranya tampak jarang digunakan, bahkan cenderung sunyi. Ini menunjukkan bahwa tantangan penyesuaian antara infrastruktur dan kebiasaan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Warga setempat mengungkapkan beragam alasan mengapa JPO belum sepenuhnya dimanfaatkan. Salah satunya adalah preferensi untuk menyebrang langsung di jalan. “Kadang lebih praktis menyebrang langsung di bawah, daripada harus naik-naik tangga,” ujar Taufik.
Meski begitu, Pemerintah Kota Makassar terus mencari solusi untuk meningkatkan fungsi dan daya tarik JPO. Revitalisasi dan penyesuaian desain menjadi prioritas. Fasilitas penyeberangan tidak lagi dilihat sekadar sebagai jalur lintasan, melainkan juga sebagai bagian dari lanskap kota yang harus menyatu dengan aktivitas masyarakat.
Salah satu pendekatan yang kini tengah dikembangkan adalah mengintegrasikan JPO dengan moda transportasi publik, serta mendesain ulang akses dan tampilan fisiknya agar lebih ramah pengguna, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Langkah-langkah ini diyakini dapat memperkuat peran JPO sebagai simpul penghubung mobilitas urban yang aman dan nyaman.
Kepala Dinas Perhubungan Makassar, Iman Hud, menjelaskan bahwa penataan ulang penyeberangan memang menjadi fokus strategis. “Kami ingin menghadirkan penyeberangan yang bukan hanya aman, tetapi juga menarik secara visual dan nyaman untuk digunakan. Kami juga akan mendengarkan masukan masyarakat agar semua bisa merasa memiliki fasilitas ini,” katanya.
Sebagian JPO yang ada saat ini memang dibangun beberapa tahun lalu dan belum mengalami pembaruan desain. Beberapa di antaranya memiliki struktur yang masih fungsional, namun kurang terawat secara estetika. Ada yang minim pencahayaan, kurang rambu petunjuk, atau bahkan tidak terhubung langsung dengan trotoar.
Dalam menjawab kondisi tersebut, Pemkot menggandeng pihak swasta dan komunitas untuk meninjau kembali fungsi-fungsi JPO. Keterlibatan ini tidak hanya dalam aspek teknis, tapi juga dalam upaya menghidupkan kembali ruang-ruang yang selama ini terkesan mati. Salah satu wacana yang mengemuka adalah menjadikan JPO sebagai ruang seni publik.
“Kenapa tidak kita tampilkan mural, pencahayaan tematik, atau elemen visual lain di JPO? Itu bisa membuat orang tertarik lewat atas, bukan sekadar fungsional, tapi juga estetik,” ucap Fitra, pegiat desain kota yang kerap terlibat dalam diskusi ruang publik di Makassar.
Upaya seperti ini diharapkan dapat membentuk kembali persepsi masyarakat terhadap pentingnya fasilitas penyeberangan. Edukasi pun menjadi bagian penting dalam strategi tersebut. Melalui sosialisasi di sekolah, media sosial, dan komunitas, warga diharapkan lebih sadar akan fungsi JPO bagi keselamatan mereka.
Pemerintah daerah juga tidak tinggal diam soal evaluasi keberadaan JPO yang tidak aktif. Dengan prinsip efisiensi dan adaptif, beberapa JPO yang dirasa tidak strategis akan ditinjau ulang fungsinya. “Kami akan evaluasi secara menyeluruh. Apakah perlu dipindahkan, direnovasi, atau justru diganti dengan fasilitas penyeberangan lainnya seperti zebra cross dengan lampu khusus,” ujar Iman Hud.
Perubahan lanskap kota, seperti munculnya pusat perbelanjaan baru, gedung perkantoran, dan kompleks pendidikan, turut mempengaruhi distribusi kebutuhan penyeberangan. Dengan begitu, pendekatan pembangunan JPO pun perlu bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan kawasan sekitar.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidak sedikit, harapan untuk menjadikan penyeberangan sebagai elemen penting dalam ekosistem transportasi kota tetap besar. Di berbagai kota lain, JPO bahkan menjadi ikon visual yang menghidupkan identitas lokal. Makassar pun berpotensi ke arah itu, dengan syarat ada kolaborasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.
Di tengah geliat kota yang semakin aktif dan padat, keberadaan JPO yang aman, indah, dan terintegrasi tentu sangat dibutuhkan. Kota yang ramah pejalan kaki bukan sekadar tentang trotoar lebar atau jalan yang rapi, tetapi juga tentang kemudahan warga dalam berpindah tempat dengan rasa aman dan nyaman.
Dengan terus mengembangkan penyeberangan sebagai bagian dari arsitektur sosial, Makassar perlahan-lahan menyusun langkah menuju tata kota yang lebih manusiawi. Fasilitas publik seperti JPO adalah cermin dari niat baik pemerintah untuk merangkul seluruh warganya tanpa terkecuali dalam mobilitas yang inklusif.