Jakarta – Bank Indonesia (BI) terus memperkuat perannya sebagai otoritas moneter yang independen dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah dan sistem keuangan nasional. Kebijakan ini diwujudkan melalui serangkaian Operasi Moneter (OM) yang sebagian besar bersifat menyerap likuiditas dari pasar keuangan, sebagaimana dijelaskan oleh ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, Rabu, 16 April 2025.
Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, otoritas bank sentral telah berdiri secara independen dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan moneternya. Tujuan utama BI adalah menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang mencakup stabilitas harga barang dan jasa serta nilai tukar terhadap mata uang asing.
Operasi Moneter Jadi Instrumen Kunci
Menurut Awalil, Operasi Moneter merupakan instrumen utama yang digunakan BI untuk mencapai stabilitas moneter. Instrumen ini dilakukan melalui intervensi di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi. Tujuan utamanya adalah menjaga suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) agar tetap berada di sekitar BI Rate, serta mempertahankan nilai tukar Rupiah sesuai nilai fundamentalnya.
Pengelolaan likuiditas di pasar uang dilakukan dengan dua pendekatan, yakni absorpsi (penyerapan) dan injeksi (penambahan) likuiditas. Kebijakan ini menyasar kestabilan pasar uang serta mendorong efektivitas transmisi kebijakan moneter.
“Operasi Moneter dilakukan secara konvensional dan juga berdasarkan prinsip syariah. Keduanya memiliki berbagai instrumen kebijakan, baik yang bersifat absorptif maupun injektif. Namun, sejauh ini nilai instrumen konvensional jauh lebih besar, mencapai lebih dari 90 persen,” jelas Awalil.
Ragam Instrumen Konvensional dan Syariah
Instrumen konvensional untuk menyerap likuiditas antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Term Deposit (TD), Reverse Repo SBN, Sertifikat Deposit Bank Indonesia (SDBI), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan Deposit Facility.
Sementara untuk syariah, BI menggunakan instrumen seperti Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Sukuk BI, Reverse Repo SBSN, dan Fasilitas Simpanan BI Syariah (FASBIS). Adapun instrumen injeksi likuiditas antara lain Repo dan Lending Facility secara konvensional, serta Repo SBSN dan Financing Facility secara syariah.
Operasi Moneter Didominasi Absorpsi
Selama dua dekade terakhir, BI lebih dominan melakukan penyerapan likuiditas dibandingkan penambahan. Ini terlihat dari nilai neto OM yang mayoritas bersifat absorptif.
Data mencatat, nilai OM absorptif meningkat tajam dari Rp297,49 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp694,01 triliun pada 2020, lalu naik lagi menjadi Rp881,27 triliun di 2021. Meski sempat menurun di 2022 dan 2023, angka ini kembali melonjak menjadi Rp945,56 triliun pada akhir 2024.
Per 31 Maret 2025, nilai OM absorptif masih tinggi, yaitu Rp922,58 triliun. Beberapa instrumen utama yang mendominasi antara lain SRBI sebesar Rp891,13 triliun, Repo Rp165,31 triliun, Deposit Facility Rp103,49 triliun, dan Sukuk BI Rp64,48 triliun.
Dampak Terhadap Ekonomi dan Kritik Kebijakan
Meskipun kebijakan BI ini dinilai efektif menjaga inflasi dan stabilitas keuangan, Awalil menyebut bahwa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih perlu dievaluasi.
Ia menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi membuat sektor perbankan kurang agresif dalam menyalurkan kredit ke sektor riil, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tidak optimal.
Kepemilikan SBN oleh BI Meningkat
Selain itu, Awalil juga menyoroti meningkatnya kepemilikan BI atas Surat Berharga Negara (SBN). Per 10 April 2025, nilai SBN yang dimiliki BI mencapai Rp1.547,41 triliun atau sekitar 24,62 persen dari total SBN.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa stabilitas keuangan nasional masih terjaga, ditandai dengan inflasi yang rendah, yield SBN yang stabil, dan dampak positif terhadap solvabilitas perbankan maupun dana sosial seperti BPJS dan dana haji.