Jakarta - Upaya PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk memperkuat pasokan energi nasional harus menghadapi pukulan telak. Kontrak jual beli gas alam dari Wilayah Kerja (WK) Duyung, Laut Natuna, Kepulauan Riau, yang selama ini diharapkan menjadi salah satu sumber energi strategis, resmi dibatalkan. Akibatnya, proyeksi pasokan gas nasional menyusut hingga 122,77 Trillion British Thermal Unit (TBTU), Senin, 14 April 2025.
Pembatalan ini diumumkan secara resmi oleh PGN setelah menerima pemberitahuan penghentian kontrak dari West Natuna Energy Ltd., selaku operator WK Duyung. Bersama mitra konsorsium, yakni Empyrean Energy Plc dan Coro Energy Duyung (Singapore) Pte. Ltd., perusahaan tersebut mengeluarkan dokumen resmi bertajuk Notice of Termination of Gas Sales Agreement (GSA) kepada PGN pada 12 Maret 2025.
“Perseroan sebagai Pembeli telah menerima surat dari West Natuna Energy Ltd, sebagai Penjual Wilayah Kerja Duyung, bersama-sama dengan Empyrean Energy Plc, dan Coro Energy Duyung (Singapore) Pte. Ltd., pada tanggal 12 Maret 2025, perihal Notice of Termination of Gas Sales Agreement (GSA Termination Notice),” ungkap Sekretaris Perusahaan PGN, Fajriyah Usman, dalam keterangannya, Senin (14/4).
Efek Domino dari Pencabutan Surat Menteri ESDM
Pembatalan kontrak ini tidak datang tiba-tiba. Menurut Fajriyah, keputusan tersebut merupakan konsekuensi dari pencabutan izin sebelumnya oleh pemerintah. Tepatnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan surat bernomor T-86/MG.04./MEM.M/2025 yang menyatakan bahwa Surat Menteri ESDM sebelumnya, yakni Nomor T-83/MG.04./MEM.M/2024, tidak berlaku lagi.
“GSA Termination Notice tersebut merupakan tindak lanjut dari Surat Menteri ESDM yang mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi Surat Menteri ESDM sebelumnya. Hal ini membuat dasar hukum perjanjian yang telah ditandatangani menjadi tidak relevan,” jelas Fajriyah.
Sebagai catatan, perjanjian jual beli gas tersebut awalnya ditandatangani pada 21 Juni 2024, dengan jangka waktu efektif berakhir pada 12 April 2025. Namun dengan keluarnya surat pencabutan tersebut, kontrak pun berakhir prematur, dan berdampak signifikan terhadap pasokan gas nasional.
Dampak Strategis Terhadap Pasokan Energi Nasional
Dengan batalnya kontrak tersebut, Indonesia kehilangan potensi pasokan gas sebanyak 122,77 TBTU. Angka ini bukan hanya sekadar statistik. Dalam konteks energi nasional, pasokan sebesar itu memiliki peranan penting untuk mendukung kebutuhan industri, rumah tangga, hingga pembangkit listrik berbasis gas.
PGN, sebagai anak usaha dari PT Pertamina (Persero) yang ditugaskan menjaga ketahanan energi berbasis gas, menghadapi tantangan besar. Pembatalan kontrak ini menambah tekanan terhadap kebutuhan mencari sumber pasokan baru untuk mengamankan kebutuhan domestik.
Tantangan untuk Diversifikasi dan Keamanan Energi
Pembatalan kontrak gas Laut Natuna menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah dan BUMN energi untuk semakin memperkuat strategi diversifikasi pasokan. Ketergantungan terhadap sumber tunggal atau konsorsium tertentu menyimpan risiko tinggi ketika aspek legal atau kebijakan mengalami perubahan.
PGN dalam beberapa tahun terakhir memang aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pengelola blok migas di dalam dan luar negeri. Namun, keputusan unilateral seperti ini menunjukkan pentingnya kontrak yang memiliki fondasi legal kuat dan dukungan kebijakan yang konsisten.
Upaya Ke Depan
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak West Natuna Energy Ltd maupun Kementerian ESDM terkait alasan pencabutan surat dukungan tersebut. Namun, Fajriyah menegaskan bahwa PGN akan tetap berkomitmen mencari solusi terbaik demi menjamin kontinuitas pasokan gas bagi pelanggan di seluruh Indonesia.
“Kami akan terus menjajaki opsi pasokan lain dan melakukan evaluasi terhadap proyek-proyek yang terdampak. PGN tetap berkomitmen menjaga keandalan pasokan gas nasional sebagai bagian dari upaya mendukung transisi energi bersih,” kata Fajriyah.