Jakarta - PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), anak usaha dari PT Pertamina (Persero), secara resmi mengumumkan pembatalan kontrak pembelian gas dari Lapangan Mako, Blok Duyung. Pembatalan ini dipastikan melalui laporan informasi atau fakta material yang disampaikan perusahaan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 14 April 2025.
Pembatalan kontrak ini berpotensi berdampak signifikan terhadap proyeksi pasokan gas nasional. Dalam keterangannya, Corporate Secretary PGN, Fajriyah Usman, menjelaskan bahwa pembatalan kontrak terjadi setelah perseroan menerima pemberitahuan resmi dari pihak penjual gas, yakni West Natuna Energy Ltd, bersama dua mitranya: Empyrean Energy Plc dan Coro Energy Duyung (Singapore) Pte. Ltd.
“GSA Termination Notice merupakan tindak lanjut dari Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM) Nomor T-86/MG.04./MEM.M/2025 yang mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi Surat Menteri ESDM Nomor T-83/MG.04./MEM.M/2024,” kata Fajriyah dalam keterbukaan informasi yang dirilis pada hari Senin.
Kontrak Gas Berakhir Lebih Cepat
Kontrak Gas Sales Agreement (GSA) antara PGN dan penjual gas sebelumnya ditandatangani pada 21 Juni 2024, dan seharusnya berlaku dalam jangka panjang untuk mendukung kebutuhan pasokan gas domestik. Namun, kontrak tersebut kini secara resmi dinyatakan berakhir lebih awal pada 12 April 2025.
“Pada saat pelaporan, GSA antara Perseroan dengan Penjual akan dibatalkan sehingga berdampak pada pengurangan proyeksi pasokan gas sebesar volume total kontrak yaitu 122,77 TBTU,” lanjut Fajriyah.
Jumlah tersebut bukan angka yang kecil. Volume sebesar 122,77 triliun British thermal unit (TBTU) mencerminkan bagian penting dari suplai energi yang sebelumnya telah direncanakan untuk disalurkan ke jaringan PGN dan pada akhirnya ke konsumen industri, komersial, maupun rumah tangga di Indonesia.
Dampak Strategis dan Upaya Mitigasi
Meski belum dijelaskan secara rinci dampak finansial terhadap laporan keuangan perusahaan, namun pengurangan proyeksi pasokan gas ini dipastikan akan menjadi perhatian strategis bagi PGN. Mengingat posisi PGN sebagai Subholding Gas Pertamina yang bertanggung jawab atas distribusi dan transmisi gas nasional, kehilangan sumber pasokan sebesar ini tentu akan berpengaruh pada rantai pasok energi.
Belum ada pernyataan lebih lanjut dari manajemen PGN terkait langkah mitigasi yang akan diambil, termasuk apakah perusahaan akan mencari pasokan pengganti dari lapangan gas lain atau melakukan renegosiasi dengan pihak-pihak terkait.
Namun, dalam praktik industri migas, pembatalan kontrak GSA akibat pencabutan izin atau ketidakberlakuan surat keputusan dari kementerian merupakan dinamika yang dapat terjadi, meskipun tidak sering.
Konteks Regulasi dari Pemerintah
Surat Menteri ESDM Nomor T-86/MG.04./MEM.M/2025 yang menjadi dasar pembatalan kontrak ini tampaknya memegang peranan kunci. Dokumen tersebut mencabut surat sebelumnya, yaitu Nomor T-83/MG.04./MEM.M/2024, yang diyakini menjadi dasar atau landasan hukum bagi penandatanganan kontrak GSA antara PGN dan pihak penjual gas dari Lapangan Mako.
Belum diketahui alasan spesifik pemerintah dalam mencabut surat tersebut. Namun, pencabutan izin atau surat keputusan pada sektor energi biasanya menyangkut hal-hal teknis maupun strategis, seperti revisi kebijakan energi nasional, perhitungan keekonomian proyek, atau perubahan prioritas pengembangan wilayah kerja migas.
Respons Industri Migas
Pengamat energi dan migas, serta pelaku industri, akan mencermati dinamika ini sebagai sinyal terhadap fluktuasi kebijakan pemerintah dalam mendukung infrastruktur gas bumi di Indonesia. Lapangan Mako yang berada di Blok Duyung, bagian dari wilayah kerja West Natuna, sebelumnya dipandang sebagai salah satu sumber gas potensial untuk kebutuhan domestik maupun ekspor.
West Natuna Energy Ltd dan para mitranya juga belum mengeluarkan pernyataan resmi kepada publik mengenai pembatalan kontrak tersebut. Namun, fakta bahwa pemberitahuan Termination Notice telah dikirimkan menunjukkan keputusan tersebut final.