Jakarta - Harga minyak mentah dunia bergerak nyaris stagnan pada awal pekan ini, di tengah meningkatnya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Situasi geopolitik yang memanas ini memicu kekhawatiran pasar global terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi dan potensi penurunan permintaan energi dunia, termasuk minyak mentah, Senin, 14 April 2025.
Harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) tercatat menguat tipis hanya sebesar 3 sen atau 0,05 persen, menjadi USD61,53 per barel pada Senin, 14 April 2025. Pergerakan tipis ini mencerminkan sikap pasar yang masih dibayangi oleh ketidakpastian arah kebijakan perdagangan global, khususnya antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Tekanan Fundamental, Peluang Teknis
Analis energi dari Dupoin Indonesia, Andy Nugraha, menilai bahwa meskipun pasar saat ini berada di bawah tekanan sentimen negatif akibat perang dagang dan ketegangan geopolitik, dari sudut pandang teknikal, masih terdapat peluang kenaikan harga minyak dalam waktu dekat.
Andy memproyeksikan bahwa selama harga WTI mampu bertahan di atas level psikologis USD61, tren kenaikan akan tetap terbuka dengan potensi target harian menuju area USD63 per barel. Kendati demikian, ia juga mengingatkan pelaku pasar untuk tetap waspada terhadap potensi pembalikan arah harga (reversal), yang dapat membawa harga kembali turun ke level support di kisaran USD59.
Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok
Di sisi fundamental, konflik dagang antara AS dan Tiongkok masih menjadi katalis utama yang membayangi pergerakan harga minyak dunia. Pemerintah Tiongkok secara resmi menaikkan tarif impor terhadap produk asal AS hingga 125 persen, sebagai bentuk respons terhadap kebijakan proteksionis Presiden Donald Trump yang sebelumnya meningkatkan tarif pada produk asal Negeri Tirai Bambu.
Meskipun beberapa produk teknologi seperti ponsel pintar dan komputer mendapat pengecualian, Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, menegaskan bahwa beberapa produk teknologi strategis tetap akan dikenakan tarif tinggi dalam waktu dekat. Pernyataan ini memperkuat kekhawatiran pasar atas berlanjutnya gangguan rantai pasokan global.
Kondisi ini semakin diperparah oleh data inflasi terbaru dari Tiongkok yang menunjukkan tekanan pada ekonomi domestik. Harga konsumen di negara tersebut mengalami penurunan selama dua bulan berturut-turut, sementara harga produsen mencatat penurunan selama 30 bulan berturut-turut, menandakan lemahnya aktivitas industri dan konsumsi.
Faktor Penopang Harga Minyak
Meski dihantui tekanan global, beberapa faktor internal pasar energi memberikan harapan untuk stabilitas harga minyak dalam jangka pendek. Salah satunya adalah penurunan jumlah rig pengeboran minyak di Amerika Serikat. Dalam satu minggu terakhir, perusahaan-perusahaan energi AS memangkas jumlah rig aktif secara signifikan—pemotongan terbesar sejak Juni 2023.
Langkah ini diartikan oleh para analis sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi penurunan permintaan. Dengan lebih sedikit rig aktif, pasokan minyak AS kemungkinan akan turun, yang dapat menopang harga di pasar global.
Selain itu, ketegangan di Timur Tengah juga memberikan tekanan terhadap pasokan global. Pemerintah AS mengisyaratkan kemungkinan penghentian ekspor minyak Iran sebagai bagian dari strategi menekan program nuklir Teheran. Meskipun proses diplomasi antara kedua negara saat ini berlangsung di Oman dan dianggap "positif serta konstruktif", risiko gangguan pasokan dari kawasan tersebut masih membayangi pasar.
Peluang Masih Terbuka, Pasar Diminta Waspada
Mengingat dinamika pasar yang cukup kompleks, Andy Nugraha mengimbau agar pelaku pasar tetap mempertimbangkan kedua sisi — teknikal dan fundamental — sebelum mengambil keputusan investasi.