PLTU

Rencana Trump Hidupkan PLTU Picu Potensi Reli Saham Batu Bara, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia

Rencana Trump Hidupkan PLTU Picu Potensi Reli Saham Batu Bara, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia
Rencana Trump Hidupkan PLTU Picu Potensi Reli Saham Batu Bara, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia

Jakarta – Saham sektor batu bara berpeluang mengalami penguatan setelah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengungkapkan rencana kontroversialnya untuk menghidupkan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara di AS jika terpilih kembali dalam pemilu mendatang, Rabu, 9 April 2025.

Trump baru-baru ini menandatangani perintah eksekutif yang memungkinkan sejumlah pembangkit listrik tenaga batu bara yang sebelumnya dijadwalkan pensiun, untuk terus beroperasi. Langkah ini diambil guna mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik seiring pesatnya pertumbuhan pusat data, pengembangan kecerdasan buatan (AI), hingga peningkatan penggunaan kendaraan listrik.

Dalam kebijakan yang sama, Trump juga mendorong lembaga-lembaga federal untuk mengidentifikasi sumber daya batu bara di lahan milik negara. Ia pun mencabut sejumlah hambatan dalam proses eksplorasi dan produksi, serta memprioritaskan penambangan batu bara di wilayah domestik AS.

Dampak terhadap Harga dan Saham Batu Bara Global

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pelaku pasar: apakah langkah Trump akan memberikan dampak positif terhadap harga batu bara global dan saham batu bara di negara lain, termasuk Indonesia?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak sesederhana ya atau tidak. Menurut analis, dampaknya bisa dilihat dari dua sisi.

Di satu sisi, rencana perpanjangan masa pakai PLTU batu bara AS dapat menciptakan sentimen positif terhadap harga batu bara global. Apalagi, lonjakan konsumsi energi untuk kebutuhan data center dan AI menuntut pasokan energi yang stabil dan besar. Sejumlah perusahaan besar seperti Oracle (ORCL) dan OpenAI, diketahui sedang mengembangkan proyek pusat data berskala masif, yang akan mendorong konsumsi listrik berbasis batu bara dalam jangka pendek.

Namun, di sisi lain, peningkatan produksi domestik AS sebagai respons terhadap kebijakan pro-batu bara Trump, justru berisiko menciptakan kelebihan pasokan (oversupply) yang dapat menekan harga batu bara dunia dalam jangka panjang.

Ekspor Batu Bara Indonesia ke AS Terus Menurun

Meski ada peluang peningkatan permintaan batu bara di AS, data historis menunjukkan bahwa dampaknya terhadap ekspor batu bara Indonesia mungkin terbatas. Ekspor batu bara Indonesia ke AS mengalami tren penurunan sejak 2018. Bahkan, sejak tahun 2023, AS tidak lagi melakukan impor batu bara dari Indonesia.

Sebagai catatan, puncak ekspor batu bara Indonesia ke AS terjadi pada 2007, saat AS mengimpor 3,66 juta ton batu bara dari Tanah Air. Permintaan sempat naik kembali pada 2014 hingga 1,52 juta ton, namun setelah itu rata-rata impor dari AS tidak pernah lagi mencapai angka 1 juta ton per tahun.

Penurunan ini bukan semata-mata karena berkurangnya konsumsi batu bara di AS, melainkan karena Negeri Paman Sam juga merupakan salah satu produsen utama batu bara dunia. Ketika produksi domestik mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, impor menjadi tidak diperlukan.

Ada Peluang Jangka Pendek, Tapi Investor Harus Waspada

Meski ekspor langsung Indonesia ke AS minim, analis menilai tetap ada peluang dalam jangka pendek jika konsumsi melonjak lebih cepat daripada ekspansi produksi domestik AS. Proyek data center besar seperti “Stargate” yang dikabarkan setara dengan luas 17 lapangan sepak bola, akan membutuhkan pasokan energi dalam jumlah besar.

“Jika permintaan listrik di AS naik signifikan dalam waktu singkat, bisa jadi mereka membutuhkan pasokan tambahan dari luar, termasuk dari Indonesia. Tapi ini hanya celah jangka pendek sebelum produksi tambang baru mereka mulai beroperasi,” jelas analis pasar komoditas, seperti dikutip dalam laporan tersebut.

Namun, investor juga diingatkan agar tidak terbawa euforia. Ketika produksi batu bara domestik AS berhasil digenjot dan memasuki fase ekspansi penuh, risiko oversupply sangat mungkin terjadi. Hal ini dapat menyebabkan harga batu bara global kembali tertekan.

“Skenario ini mirip dengan yang terjadi pada komoditas shale oil di 2012-2014. Saat itu, booming produksi domestik AS menyebabkan harga minyak anjlok drastis, bahkan sempat menyentuh USD 25 per barel,” tambah analis tersebut.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index