JAKARTA – Inflasi di Provinsi Sulawesi Utara melonjak tajam pada Maret 2025, dipicu oleh berakhirnya program diskon 50 persen tarif listrik yang berlaku selama dua bulan sebelumnya. Kenaikan ini menjadi salah satu penyumbang utama inflasi secara nasional, dengan angka inflasi bulan-ke-bulan (month to month/m-to-m) mencapai 2,65 persen, menjadikan Sulawesi Utara masuk dalam tiga besar provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi di Indonesia pada bulan tersebut, Rabu, 9 April 2025.
Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Utara, komoditas energi, terutama tarif listrik, menjadi faktor dominan yang mendorong lonjakan indeks harga konsumen (IHK) di wilayah tersebut.
Tarif Listrik Sumbang Andil Tertinggi Inflasi
Kepala Bagian Umum BPS Provinsi Sulawesi Utara, Bhayu Prabowo, menjelaskan bahwa tarif listrik menyumbang andil inflasi sebesar 1,4 persen, menjadikannya sebagai komoditas penyumbang inflasi tertinggi pada bulan Maret 2025.
Seperti diketahui, selama Januari dan Februari 2025, pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen sebagai bagian dari kebijakan stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, program tersebut tidak diperpanjang hingga Maret, sehingga tagihan listrik rumah tangga dan bisnis melonjak kembali ke tarif normal.
Komoditas Pangan Juga Dorong Inflasi
Selain tarif listrik, sejumlah komoditas pangan turut berkontribusi terhadap kenaikan inflasi di Sulawesi Utara. Menurut data BPS, cabai rawit memberikan andil sebesar 0,26 persen, diikuti tomat sebesar 0,15 persen, serta ikan selar dan ikan cakalang masing-masing menyumbang 0,11 persen.
Kenaikan harga cabai dan tomat ini diduga disebabkan oleh berkurangnya pasokan akibat cuaca ekstrem dan gangguan distribusi dari daerah produsen. Sementara itu, naiknya harga ikan turut dipengaruhi oleh musim gelombang tinggi yang menyulitkan aktivitas nelayan di perairan Sulawesi Utara.
Daerah dengan Inflasi Tertinggi
Inflasi di Sulawesi Utara tidak merata, dengan beberapa daerah mencatatkan lonjakan harga yang lebih signifikan dibandingkan lainnya. BPS mencatat, Kota Kotamobagu menjadi daerah dengan inflasi tertinggi, mencapai 2,98 persen. Disusul oleh Kabupaten Minahasa Selatan (2,71 persen), Kabupaten Minahasa Utara (2,67 persen), dan Kota Manado (2,60 persen).
Peningkatan harga di daerah-daerah tersebut sebagian besar disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang tinggi pasca libur panjang dan peningkatan permintaan terhadap barang-barang pokok.
Daging Babi Jadi Penahan Inflasi
Menariknya, di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok dan energi, beberapa komoditas justru memberikan andil negatif atau menahan laju inflasi. BPS menyebutkan bahwa daging babi menjadi komoditas penahan inflasi terbesar, dengan kontribusi menurunkan inflasi sebesar 0,07 persen.
Penurunan harga daging babi ini diperkirakan karena stok yang mencukupi serta berkurangnya permintaan pasca perayaan Tahun Baru Imlek yang biasanya meningkatkan konsumsi komoditas tersebut.
Dampak terhadap Ekonomi Regional
Kenaikan inflasi yang cukup tinggi ini berpotensi memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat, terutama golongan berpenghasilan rendah yang paling terdampak oleh kenaikan tarif listrik dan harga pangan. Pemerintah daerah diminta untuk segera melakukan langkah-langkah stabilisasi harga dan mengkaji ulang kebijakan subsidi untuk kelompok rentan.
Dengan inflasi yang cukup tinggi ini, para ekonom mengingatkan perlunya penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam hal distribusi logistik dan pengendalian harga komoditas strategis.