Jakarta – Bursa saham Indonesia kembali diguncang keras. Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai Presiden RI, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami tekanan tajam. Dari posisi mendekati 8.000, indeks utama di Bursa Efek Indonesia itu kini jatuh drastis hingga menyentuh level 5.000-an, Rabu, 9 April 2025.
Puncak kepanikan pasar terjadi pada Selasa, 8 April 2025. Pada sesi pembukaan perdagangan hari itu, IHSG terjun bebas hingga 9,19 persen ke posisi 5.912. Penurunan signifikan ini bahkan memicu trading halt atau penghentian sementara perdagangan, sebagai bentuk perlindungan terhadap gejolak ekstrem pasar.
Anjloknya IHSG ini menjadi sinyal serius yang seharusnya tidak bisa dianggap enteng. Namun, pengamat ekonomi menilai pemerintah belum menunjukkan langkah konkret yang cukup kuat untuk merespons gejolak ini.
Celios Kritik Sikap Pemerintah
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyampaikan kritik keras terhadap sikap pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto. Menurut Bhima, pemerintah tampak menganggap krisis pasar ini sebagai hal biasa, alih-alih sebagai situasi darurat ekonomi.
“Respon pemerintah sepertinya menganggap enteng. Bahkan saat diwawancara para Pemimpin Redaksi di Hambalang, Presiden tampak menganggap volatilitas ini hanya sebagai siklus biasa,” ujar Bhima saat diwawancarai oleh RMOL pada Rabu, 9 April 2025.
Bhima menilai sikap tersebut sangat bertolak belakang dengan cara negara lain menyikapi ketidakpastian ekonomi global. Ia mencontohkan Perdana Menteri Singapura yang telah memberikan peringatan kepada rakyatnya untuk bersiap menghadapi potensi krisis yang lebih dalam.
“Harusnya pemerintah mengakui bahwa ini adalah sebuah indikasi yang beresiko tinggi bagi perekonomian,” tegasnya.
Tidak Ada Sense of Crisis dalam Pernyataan Resmi
Bhima juga menyoroti lemahnya sinyal komunikasi dari pemerintah. Menurutnya, pernyataan-pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Presiden dan pejabat terkait belum mencerminkan urgensi ataupun strategi penanganan yang jelas.
“Pasar tidak menangkap sinyal krisis dari pidato Presiden maupun pernyataan sebelumnya. Karena dianggap terlalu mengentengkan, investor melihat Indonesia kurang serius dalam menghadapi risiko ekonomi akibat perang dagang yang dampaknya semakin terasa,” jelas Bhima.
Ia menambahkan bahwa pernyataan yang meremehkan situasi bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Bukannya menenangkan pasar, ketidakjelasan dan minimnya sense of crisis justru dapat memperburuk kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Ancaman Nyata terhadap Stabilitas Ekonomi
Jika tren penurunan ini terus berlanjut dan tidak disertai penanganan yang meyakinkan, Bhima memperingatkan akan adanya potensi penarikan dana besar-besaran (capital outflow). Arus modal keluar ini, lanjutnya, bisa semakin menekan nilai tukar rupiah dan memperlemah fondasi ekonomi Indonesia.
“Nah, seolah ini hanya masalah komunikasi belaka gitu, padahal justru dari statement Presiden sendiri ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya kurang siap,” pungkas Bhima.
Kebutuhan akan Tindakan Konkret
Situasi ini menuntut pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna menenangkan pasar. Langkah tersebut tidak hanya berupa pernyataan simbolis, tetapi juga kebijakan strategis dan sinyal tegas bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk mengelola krisis.
Para pelaku pasar dan investor membutuhkan kepastian—baik dalam bentuk stimulus fiskal, kebijakan moneter yang adaptif, maupun komitmen dari pemangku kebijakan tertinggi bahwa stabilitas ekonomi menjadi prioritas utama.
Dalam konteks saat ini, di mana ketidakpastian global masih tinggi akibat perang dagang, ketegangan geopolitik, serta pelemahan ekonomi di berbagai negara mitra dagang Indonesia, sikap proaktif pemerintah sangat menentukan arah kepercayaan investor dan kestabilan pasar keuangan domestik.