JAKARTA— Kawasan konservasi Kebun Raya Samarinda atau yang secara resmi dikenal sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) kini menghadapi ancaman serius dari aktivitas pertambangan batu bara ilegal yang diduga telah menyerobot sebagian lahannya.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul), setidaknya 3 hektare area KHDTK telah terdampak akibat ekspansi tambang yang dinilai semakin agresif. Aktivitas ini ditengarai melibatkan perusahaan tambang yang konsesinya berdekatan langsung dengan batas kawasan konservasi, yakni KSU Putra Mahakam Mandiri.
Kepala Laboratorium Alam KHDTK Diklathut Fahutan Unmul, Rustam Fahmy, membenarkan adanya aktivitas tambang yang merambah ke wilayah hutan konservasi. Menurutnya, indikasi tersebut terdeteksi dalam pemantauan udara menggunakan drone yang rutin dilakukan oleh pihak kampus bersama mahasiswa kehutanan.
“Selama ini kami rutin pantau lewat drone. Tapi sejak dua hari terakhir, kami dapati area KHDTK seluas lebih dari 3 hektare terdampak pembukaan lahan tambang,” ungkap Fahmy.
Ia menambahkan bahwa aktivitas tersebut berlangsung intensif sejak 4 hingga 5 April 2025, dengan sedikitnya lima ekskavator yang masih aktif beroperasi di lokasi. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa ekspansi tambang tidak hanya terjadi di luar, tapi juga telah merembet ke dalam kawasan konservasi yang seharusnya steril dari kegiatan industri ekstraktif.
Kawasan Konservasi Terancam, Akademisi Minta Perlindungan
KHDTK sendiri merupakan kawasan hutan yang digunakan sebagai laboratorium alam oleh sivitas akademika Unmul, khususnya Fakultas Kehutanan. Kawasan ini memiliki peran penting dalam konservasi lingkungan, pendidikan, dan penelitian. Namun, keberadaannya kini kian terancam oleh aktivitas pertambangan yang diduga menyalahi aturan.
Rustam Fahmy menyebut, area terdampak berada sangat dekat, bahkan “sejengkal” dari batas resmi KHDTK yang memiliki luas total sekitar 300 hektare.
“Lahan kami sempat longsor tahun lalu. Sudah kami laporkan, tapi hingga kini belum ada tindakan. Padahal ini jelas pelanggaran,” tegasnya.
Sebelumnya, pada 12 Agustus 2024, Dekan Fakultas Kehutanan Unmul telah melayangkan surat permohonan perlindungan kepada Balai Gakkum LHK Wilayah Kalimantan. Dalam surat bernomor 2118/UN17.4/TA.03.00/2024 itu, disebutkan bahwa aktivitas tambang tidak hanya menyebabkan longsor, tetapi juga merusak patok dan pagar pembatas kawasan hutan.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada tindakan konkret dari pihak berwenang, meski laporan sudah disampaikan lebih dari delapan bulan lalu. Situasi ini memunculkan kekecewaan dari kalangan akademisi dan pemerhati lingkungan yang selama ini berjuang mempertahankan kelestarian KHDTK sebagai benteng terakhir paru-paru kota Samarinda.
Seruan Tindakan Tegas dari Pemerintah dan Penegak Hukum
Kawasan konservasi seperti KHDTK dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang ketat. Namun, lemahnya pengawasan dan lambannya penindakan dari instansi terkait menjadi celah bagi pelaku tambang untuk melakukan pelanggaran.
Aktivitas tambang ilegal yang masuk ke kawasan hutan tidak hanya berpotensi merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga berdampak langsung pada sistem hidrologi, kestabilan tanah, dan kelangsungan ekosistem kota.
Aktivis lingkungan di Samarinda juga angkat suara, mendesak agar pemerintah pusat dan daerah segera mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran ini. Mereka mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan di Kalimantan Timur sudah sangat memprihatinkan, dan upaya penyelamatan kawasan konservasi harus menjadi prioritas.
“Jika kawasan konservasi seperti KHDTK saja bisa dijarah tanpa tindakan, bagaimana nasib hutan-hutan lain di Kalimantan? Pemerintah tidak boleh tinggal diam,” ujar salah satu aktivis lingkungan lokal yang enggan disebutkan namanya.