Jakarta - PT Bank Ina Perdana Tbk (IDX: BINA), lembaga keuangan yang berada di bawah naungan konglomerasi Salim Group, menutup tahun buku 2024 dengan kinerja yang penuh tantangan. Bank mencatatkan penurunan laba bersih yang sangat signifikan hingga 60,62% secara tahunan (year-on-year/yoy), menjadi hanya Rp81,84 miliar, dibandingkan dengan Rp207,87 miliar pada 2023.
Penurunan tajam ini juga berdampak langsung terhadap laba per saham dasar yang menyusut ke Rp13,34 dari sebelumnya Rp33,89, Selasa, 8 April 2025.
Pendapatan Bunga Naik, Namun Tertekan Beban Bunga
Meskipun laba tergerus, Bank Ina tetap mencatatkan pertumbuhan positif pada sisi pendapatan bunga. Sepanjang 2024, pendapatan bunga tercatat Rp1,88 triliun, tumbuh 9,44% dibandingkan Rp1,72 triliun pada tahun sebelumnya.
Sayangnya, pertumbuhan ini tidak dibarengi dengan efisiensi biaya bunga. Beban bunga bank melonjak menjadi Rp1,17 triliun dari Rp1,01 triliun di 2023. Dengan demikian, pendapatan bunga bersih hanya mencatatkan peningkatan marginal menjadi Rp713,06 miliar dari Rp709,97 miliar pada tahun sebelumnya.
"Secara fundamental, kami tetap menjaga pertumbuhan pendapatan bunga sebagai inti dari bisnis perbankan kami. Namun, tekanan suku bunga dan kompetisi dana pihak ketiga masih menjadi tantangan sepanjang 2024," ungkap manajemen Bank Ina dalam keterangannya kepada publikasi kinerja tahunan, Senin (8/4).
Tekanan Terbesar Datang dari Beban Operasional
Faktor utama penurunan laba bersih BINA berasal dari sisi beban operasional yang meningkat tajam. Beban operasional lainnya naik drastis menjadi Rp653,68 miliar, dibandingkan dengan Rp501,68 miliar pada 2023. Di sisi lain, pendapatan operasional lainnya justru menurun ke Rp48,08 miliar, dari sebelumnya Rp59,23 miliar.
Efek kumulatif dari ketimpangan ini menggerus margin keuntungan Bank Ina secara signifikan, meskipun beban pajak penghasilan berhasil ditekan ke level Rp25,61 miliar, turun dari Rp59,65 miliar pada tahun sebelumnya.
"Kami menyadari bahwa efisiensi operasional harus menjadi fokus utama ke depan. Beban yang meningkat ini tidak sejalan dengan pertumbuhan pendapatan, dan menjadi sinyal kuat untuk melakukan penyesuaian strategi bisnis di tahun 2025," lanjut manajemen.
Neraca Tetap Stabil di Tengah Tekanan
Meski laba bersih anjlok, posisi neraca Bank Ina masih menunjukkan stabilitas. Total aset hingga 31 Desember 2024 tercatat Rp24,43 triliun, hanya naik tipis dari Rp24,38 triliun pada akhir 2023.
Dari sisi liabilitas, tidak ada perubahan signifikan dengan posisi tetap di angka Rp20,82 triliun. Sedangkan ekuitas perusahaan menunjukkan sedikit pertumbuhan menjadi Rp3,61 triliun, naik dari Rp3,55 triliun tahun sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kendati mengalami tekanan di sisi profitabilitas, Bank Ina tetap mampu menjaga struktur keuangannya secara solid.
Tantangan dan Harapan 2025
Analis perbankan menilai bahwa tekanan yang dihadapi Bank Ina merupakan refleksi dari tantangan industri perbankan secara umum di tengah ketatnya persaingan pendanaan dan biaya dana yang tinggi.
"Bank Ina memiliki potensi jangka panjang, terutama dengan dukungan Salim Group. Namun, mereka perlu melakukan efisiensi biaya dan inovasi digital yang lebih agresif untuk bersaing di tengah industri yang makin padat," ujar seorang analis pasar modal dari Jakarta yang enggan disebutkan namanya.
Dengan pertumbuhan pendapatan bunga yang masih positif dan neraca yang stabil, Bank Ina masih memiliki peluang untuk melakukan rebound di tahun 2025. Kuncinya adalah pengetatan biaya operasional serta optimalisasi portofolio kredit dan pendanaan.