Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menyoroti ketidakpatuhan beberapa perusahaan di sektor jasa keuangan, menyusul temuan bahwa empat dari 146 perusahaan pembiayaan yang terdaftar belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum sebesar Rp100 miliar. Selain itu, terdapat 11 dari 97 penyelenggara peer-to-peer (P2P) lending yang juga belum mencapai batas ekuitas minimum yang ditetapkan sebesar Rp7,5 miliar, Rabu, 5 Maret 2025.
Kepatuhan dan Upaya Pemenuhan Modal
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menyatakan bahwa OJK akan terus melakukan pengawasan ketat terkait pemenuhan kewajiban ekuitas minimum. "Dari 11 penyelenggara P2P lending tersebut, lima penyelenggara sedang dalam proses analisis atas permohonan peningkatan modal disetor," ungkap Agusman dalam siaran pers usai Rapat Dewan Komisioner Bulanan Februari 2025.
Agusman mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah untuk memastikan perusahaan-perusahaan tersebut dapat memenuhi ketentuan yang ada. "Kami terus melakukan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan progress action plan upaya pemenuhan kewajiban ekuitas minimum," tambahnya. Langkah-langkah tersebut mencakup injeksi modal dari pemegang saham maupun dari strategic investor baik lokal maupun asing serta termasuk opsi pengembalian izin usaha.
Sanksi dan Pengawasan Ketat di Sektor PVML
Selain pengawasan terhadap ekuitas, OJK juga aktif dalam menegakkan kepatuhan di sektor Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML). Selama Februari 2025, OJK telah memberikan sanksi administratif kepada berbagai pelaku industri yang melanggar ketentuan.
Pada bulan tersebut, OJK menjatuhkan sanksi kepada 24 perusahaan pembiayaan, 11 perusahaan modal ventura, 32 penyelenggara P2P lending, dua perusahaan pergadaian swasta, satu lembaga keuangan khusus, dan empat lembaga keuangan mikro. Pelanggaran ini mencakup pelanggaran terhadap POJK yang berlaku serta hasil pengawasan dan tindak lanjut pemeriksaan.
Sanksi tersebut terdiri dari tiga pembatasan kegiatan usaha, 89 sanksi denda, dan 51 sanksi peringatan tertulis. "OJK berharap upaya penegakan kepatuhan dan pengenaan sanksi tersebut dapat mendorong pelaku industri sektor PVML meningkatkan aspek tata kelola yang baik, kehati-hatian, serta kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku," tegas Agusman.
Pertumbuhan dan Risiko Sektor Pembiayaan
Di sisi lain, OJK mencatat pertumbuhan piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan sebesar 6,04% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp504,33 triliun pada Januari 2025. Meski ada pertumbuhan, angka ini sedikit melambat dibandingkan Desember 2024 yang mencapai 6,92% YoY.
Pertumbuhan tersebut terutama didukung oleh peningkatan pembiayaan investasi yang tumbuh sebesar 10,77% YoY. Namun, profil risiko di sektor pembiayaan menunjukkan peningkatan pada rasio Non Performing Financing (NPF). Pada Januari 2025, NPF gross tercatat sebanyak 2,96%, naik dari 2,70% pada Desember 2024. NPF net juga mengalami kenaikan menjadi 0,93% dari 0,75% pada periode yang sama.
Meskipun mengalami peningkatan risiko, OJK tetap menganggap bahwa profil risiko di sektor ini masih terjaga. Agusman menekankan pentingnya upaya kolaboratif antara OJK dan pelaku industri untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berdaya saing. "Kami percaya, dengan peningkatan tata kelola dan kepatuhan terhadap regulasi yang makin baik, sektor pembiayaan di Indonesia dapat berkontribusi lebih optimal terhadap perekonomian nasional," katanya.
Dengan temuan dan langkah-langkah yang ditempuh oleh OJK ini, diharapkan semua pelaku industri di sektor pembiayaan dan jasa keuangan lainnya dapat meningkatkan kepatuhan dan tata kelola yang baik, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perkembangan ekonomi Indonesia.