Jakarta - Dalam rangka memperkuat pengawasan dan penataan sektor pertambangan, Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) melaksanakan rapat kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Gedung DPD-RI, Senayan, Jakarta. Rapat ini dihadiri oleh Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung dan jajaran pejabat kementerian, membahas evaluasi program kerja tahun lalu serta rencana 2025. Fokus utama rapat adalah penanganan krisis pertambangan dan perbaikan tata kelola izin usaha pertambangan (IUP) yang sering kali tumpang tindih, Senin, 3 Maret 2025.
Di awal pertemuan, Anggota Komite II DPD-RI, R. Graal Taliawo, menyampaikan apresiasi terhadap langkah Kementerian ESDM dalam menarik izin usaha pertambangan yang tumpang tindih. Ia menyatakan kesiapan DPD-RI untuk berkolaborasi dengan kementerian, demi menuntaskan masalah pertambangan di setiap provinsi. "Kami di DPD-RI siap menjadi mitra kerja Kementerian ESDM dalam menyelesaikan masalah pertambangan di daerah masing-masing," ujarnya.
Graal Taliawo, politisi muda asal Wayaua, Halmahera Selatan, menekankan pentingnya jeda pemberian IUP, terutama di wilayah yang mengalami konversi lahan pertanian ke lahan tambang, tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial. "Sebagai contoh, di Maluku Utara krisis lahan pertanian dan perkebunan terjadi karena banyak lahan yang beralih fungsi menjadi tambang akibat IUP yang diobral ketika kewenangan pemberian izin masih di tangan pemerintah daerah," ungkap Graal.
Ia juga menyerahkan dokumen berisi masalah dan rekomendasi terkait energi dan sumber daya mineral di Maluku Utara kepada Wakil Menteri ESDM, dan menyoroti konflik lahan dengan masyarakat adat, seperti di suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur, serta persinggungan lahan pertambangan dengan desa-desa di Halmahera. "Di Maluku Utara, area hidup masyarakat sering berbenturan dengan lokasi tambang, ini perlu segera diselesaikan," tambahnya.
Dampak Lingkungan dan Pentingnya Evaluasi AMDAL
Graal juga mengingatkan tentang dampak pertambangan yang merusak lingkungan, mengutip kasus pencemaran logam berat di Teluk Obi, Buli, dan Weda. Ia menekankan perlunya perbaikan pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan peninjauan kembali IUP yang melanggar tata kelola yang semestinya. "Pemerintah Pusat harus mengevaluasi AMDAL dan mencabut IUP jika ditemukan pelanggaran," tegas Graal.
Merespon kekhawatiran yang disampaikan Graal, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengakui perlunya perbaikan tata kelola perizinan pertambangan. Ia menyatakan komitmen Kementerian ESDM untuk mempercepat integrasi sistem perizinan demi meminimalisir kendala birokrasi dan menghindari tumpang tindih izin. "Perbaikan tata kelola perizinan dan pemetaan lahan adalah prioritas kami," kata Yuliot.
Yuliot menambahkan bahwa kebijakan mitigasi untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat pertambangan harus dilaksanakan dengan tegas. "Kami terus berupaya meningkatkan pengawasan dan memastikan perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Kewajiban reklamasi pasca-tambang sesuai undang-undang juga akan kami tegakkan," imbuhnya.
Kolaborasi untuk Keberlanjutan
Diskusi dalam rapat ini menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, legislatif, dan pihak terkait dalam penataan izin tambang dan keberlanjutan lingkungan. Diharapkan, perbaikan tata kelola ini dapat meminimalisir konflik lahan dan menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Kolaborasi antara DPD-RI dan Kementerian ESDM diharapkan mampu memberikan solusi nyata terhadap permasalahan pertambangan yang kompleks, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar area tambang. Dengan upaya serius dalam mitigasi kerusakan lingkungan dan penataan izin pertambangan, sektor ini dapat dikelola secara berkelanjutan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi seluruh pihak.