Jakarta - Dalam empat bulan terakhir pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kasus pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi di dunia seni semakin marak. Mulai dari musik, teater, seni rupa, hingga perfilman, semua sektor seni mengalami tekanan yang memicu kekhawatiran publik. Berikut adalah beberapa kasus yang menyoroti situasi kebebasan seni yang terancam di Indonesia, Senin, 24 Februari 2025.
Pelarangan Lagu "Bayar Bayar Bayar" oleh Band Punk Sukatani
Sebuah band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani, baru-baru ini menjadi perhatian setelah lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" ditarik dari platform musik digital. Lagu yang sebelumnya viral ini dikritik tajam karena liriknya dinilai mengandung kritik terhadap institusi kepolisian.
Namun, tak lama berselang, band ini merilis video permintaan maaf kepada Kapolri dan jajaran kepolisian melalui akun media sosial mereka, @sukatani.band, pada 20 Februari 2025. Dalam video tersebut, personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti dan Novi Citra Indriyati, menyatakan, “Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul 'Bayar Bayar Bayar' yang dalam liriknya (ada kata) bayar polisi yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” kata Lutfi.
Teater Payung Hitam Menghadapi Pemberangusan
Tidak hanya di musik, seni pertunjukan juga merasakan tekanan. Kelompok teater terkenal, Teater Payung Hitam, mengalami hambatan terkait pementasan karya mereka "Wawancara dengan Mulyono". Pertunjukan ini seharusnya digelar pada pertengahan Februari 2025 di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, namun dibatalkan karena masalah akses.
Rachman Sabur, sutradara dan aktor pertunjukan ini, menyatakan bahwa pada 15 Februari 2025 saat tiba di lokasi, pintu studio ternyata sudah digembok, menghalangi masuk ke area pertunjukan. “Awalnya kami berharap dapat menampilkan karya ini kepada publik, namun kenyataannya kami dihadapkan pada upaya pembungkaman yang mempertegas bahwa kebebasan berekspresi kita sedang diuji,” ujar Rachman dengan kecewa.
Mancungnya Hak Kebebasan Ekspresi dalam Pameran Lukisan Yos Suprapto
Seniman lukis Yogyakarta, Yos Suprapto, menghadapi batasan dalam upayanya menyelenggarakan pameran tunggal "Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan" di Galeri Nasional Indonesia. Saat hendak menghadiri pembukaan pameran tersebut, Yos mendapati dirinya dilarang memasuki ruang tempat karya-karyanya dipajang.
“Saya senimannya saja tidak bisa masuk ke dalam ruang di mana saya menaruh karya-karya saya,” keluh Yos. Sebelumnya, ketidakpastian ini semakin diperburuk dengan mundurnya kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, dengan alasan estetis terhadap karya-karya Yos yang dikatakan kurang metaforis dan terlalu vulgar. Akhirnya, Yos memutuskan untuk menarik semua karyanya dari pameran.
Pembatalan Pemutaran Film "Eksil" di Samarinda
Pembatasan kebebasan berekspresi semakin diperparah dengan kasus pembatalan pemutaran film "Eksil" di CGV Samarinda. Film yang seharusnya diputar pada 22 Februari 2025 ini tiba-tiba dibatalkan oleh pihak penyelenggara dengan alasan teknis perizinan.
Koordinator acara, Wawan, menyatakan kekecewaannya dengan mengatakan bahwa pihaknya telah menjual 146 tiket dan menyewa studio dengan kapasitas penuh. Meski film ini sebelumnya tayang di kota-kota besar dan memenangkan penghargaan internasional, langkah mendadak dari pihak CGV seolah-isola memperparah sinyal pembatasan ruang seni di negeri ini. “Ini bukan kali pertama pembatasan seperti ini terjadi. Kita seperti menghadapi pola konsisten yang membatasi hak kebebasan berekspresi di sektor perfilman,” ujarnya.
Kesempatan untuk Merefleksi Kebijakan Seni
Kasus-kasus yang muncul ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang arah kebijakan kebudayaan di bawah pemerintahan saat ini. Masyarakat seni dan publik diimbau untuk lebih kritis dan vokal dalam menyuarakan pentingnya kebebasan berekspresi yang merupakan bagian dasar dari HAM. Rentetan insiden ini mencerminkan bahwa ruang kebebasan seni mengalami tantangan serius dan menuntut respon menyeluruh dari berbagai(elemen dalam masyarakat, termasuk pemerintah, untuk menemukan solusi atas praktik-praktik pembungkaman yang terjadi.