Anies Baswedan

Anies Baswedan Kagum pada Keramahan Taiwan

Anies Baswedan Kagum pada Keramahan Taiwan
Anies Baswedan Kagum pada Keramahan Taiwan

JAKARTA - Kunjungan perdana Anies Baswedan ke Taiwan menjadi pengalaman yang penuh kesan. Mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017 hingga 2022 ini tidak sekadar datang sebagai tamu, tetapi juga menyerap nilai-nilai keramahan dan keterbukaan yang menurutnya menjadi ciri khas bangsa Taiwan. Dalam wawancara dengan kanal YouTube Fokus Taiwan Indonesia, Anies menggambarkan secara rinci kesan yang ia dapatkan sejak pertama menginjakkan kaki di negara tersebut.

“Ini adalah sebuah bangsa yang menyambut tamu dengan pendekatan yang ramah,” ujar Anies seperti dikutip dari KBA News.

Kesan positif itu muncul sejak awal kedatangannya. Hal yang paling mengejutkan sekaligus menyenangkan baginya adalah sapaan hangat dalam Bahasa Indonesia oleh petugas bandara. Sapaan itu bukan datang dari sembarang orang, melainkan dari seorang petugas keamanan di Bandara Internasional Taoyuan Taiwan yang ternyata adalah warga negara Indonesia (WNI). Interaksi singkat itu membekas kuat dalam benak Anies.

Lebih jauh, Anies menceritakan bagaimana perbincangannya dengan petugas tersebut membuka pandangan baru baginya tentang kebijakan pelayanan publik di Taiwan. Betapa tidak, petugas keamanan itu diketahui mampu menguasai tujuh bahasa asing, meskipun hanya lima yang tercatat secara resmi.

“Ketika saya ngobrol, dia bisa berbahasa tujuh (bahasa asing) walaupun yang dicatatnya lima,” kata Anies.

Bagi Anies, kemampuan itu bukan hanya soal personal, melainkan mencerminkan satu kebijakan struktural yang sangat menarik. Taiwan, menurutnya, tidak memaksa pendatang untuk menyesuaikan diri dengan bahasa lokal. Sebaliknya, justru para petugas publik yang diberikan bekal agar bisa berkomunikasi dengan tamu dari berbagai latar belakang bahasa.

“Ini menggambarkan satu kebijakan yang menarik bahwa ramah pendatang, bukan pendatangnya yang harus belajar bahasa lokal tapi petugas-petugas di bandaranya yang menguasai bahasanya tamu,” tutur mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Ia menilai bahwa sistem pelayanan publik seperti ini menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap para pendatang dan wisatawan. Dari pengalaman di bandara saja, Anies mengaku bisa langsung menangkap nilai inklusivitas dan keterbukaan yang menjadi bagian dari sistem di Taiwan.

“Dari situ kita sudah merasakan berarti dia (Taiwan) berorientasi untuk menyambut pendatang dengan mewajibkan petugasnya bisa berbahasa sesuai dengan bahasanya pendatang,” lanjutnya.

Kekaguman Anies tidak berhenti di situ. Ia juga mengamati bahwa proses seleksi tenaga kerja di Taiwan, khususnya dalam sektor keamanan, dilakukan dengan cara yang profesional dan adil. Tidak ada praktik nepotisme atau pengaruh “orang dalam”, yang sering kali menjadi kendala dalam proses rekrutmen di banyak negara lain.

Menurutnya, seleksi dilakukan berdasarkan meritokrasi sebuah sistem yang memberi kesempatan kepada individu berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan relasi atau koneksi.

“Dari situ saya mendapatkan gambaran berarti di sini ada sistem meritokrasi dan saya bangga bahwa dengan meritokrasi itu WNI bisa masuk, pekerja migran kita itu lolos, dan ini adalah satu citra awal yang saya dapat,” jelas Anies.

Ia menambahkan, keberadaan pekerja migran Indonesia di posisi yang strategis serta keterlibatan mereka dalam sistem pelayanan publik di Taiwan merupakan cerminan dari kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Anies tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya karena WNI yang bekerja di Taiwan tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi, tapi juga mampu bersaing secara kompetitif melalui sistem yang transparan.

Sepanjang wawancara tersebut, Anies tampak tak hanya ingin membagikan cerita, tetapi juga menyampaikan apresiasi atas sistem yang diterapkan oleh pemerintah Taiwan. Menurutnya, ada banyak hal yang dapat diambil sebagai pelajaran, khususnya dalam hal pelayanan publik dan kebijakan perekrutan tenaga kerja.

Dalam konteks Indonesia, Anies seolah mengajak semua pihak untuk melihat dan belajar dari apa yang dilakukan Taiwan. Ia tidak menyampaikan kritik secara langsung terhadap kondisi dalam negeri, tetapi narasinya secara halus menyoroti perbandingan antara pelayanan publik di Taiwan dan di Indonesia.

Kunjungan ini memang bukan kunjungan diplomatik atau kunjungan kerja resmi, tetapi refleksi Anies selama berada di Taiwan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku kebijakan di Indonesia. Terlebih, isu peningkatan kualitas pelayanan publik dan reformasi birokrasi kerap menjadi sorotan dalam diskursus politik nasional.

Sebagai tokoh yang dikenal aktif dalam membangun narasi perubahan dan inovasi, pernyataan Anies dalam wawancara itu juga dinilai sebagai bentuk penguatan citranya sebagai pemimpin yang terbuka terhadap pembelajaran lintas negara.

Anies, yang juga lulusan Universitas Gadjah Mada dan Universitas Maryland serta meraih gelar doktor dari Northern Illinois University, memang dikenal sebagai figur yang menekankan pentingnya meritokrasi dan pelayanan yang berorientasi pada warga. Maka, tidak heran jika ia memberi perhatian lebih pada sistem rekrutmen dan keramahan petugas di Taiwan.

Bagi sebagian pihak, pengalaman Anies ini mungkin terdengar sederhana sekadar kunjungan dan percakapan singkat di bandara. Namun, bagi Anies, interaksi kecil itu memberikan gambaran besar tentang nilai dan sistem yang dianut oleh sebuah negara dalam menyambut tamunya.

Dan dalam era globalisasi seperti sekarang, keramahan dan meritokrasi bukan hanya sekadar nilai budaya, tetapi juga menjadi indikator penting dalam memperkuat daya saing dan reputasi suatu bangsa di mata dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index