JAKARTA — Sikap tegas Partai Nasdem terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan kekhawatiran mendalam atas arah demokrasi dan tatanan konstitusi Indonesia ke depan. MK memutuskan bahwa pemilu nasional dan lokal akan digelar secara terpisah mulai tahun 2029. Bagi Nasdem, keputusan ini tidak hanya menimbulkan keraguan atas legalitasnya, tetapi juga berpotensi menciptakan krisis ketatanegaraan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, menilai pemisahan waktu antara pemilu nasional dan daerah sebagai langkah inkonstitusional. Ia mengungkapkan, keputusan MK telah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali yang utuh dan menyeluruh.
Dalam keterangan resmi DPP Partai Nasdem yang diterima, Lestari menyebut bahwa putusan MK tersebut telah memisahkan secara tidak konstitusional pelaksanaan pemilu presiden, DPR, DPD dari pemilu kepala daerah dan DPRD. Hal ini, menurutnya, mengingkari Pasal 22E UUD 1945. “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022,” tegas Lestari yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR.
Dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan, pemilu nasional untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, dan DPD dijadwalkan akan dilaksanakan lebih awal. Setelah jeda dua hingga dua setengah tahun, baru akan diselenggarakan pemilu lokal untuk memilih DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota.
Putusan tersebut secara garis besar memisahkan dua skema pemilu yang sebelumnya selalu digelar secara serentak setiap lima tahun. MK beralasan, pemisahan ini dapat memperkuat sistem pemerintahan dan efektivitas penyelenggaraan pemilu. Namun, Partai Nasdem memandang bahwa alasan tersebut tidak dapat menjadi dasar pembenaran atas pelanggaran konstitusi.
Menurut Lestari, pelaksanaan pemilu lima tahunan adalah amanat konstitusi yang tidak bisa ditafsirkan berbeda hanya karena alasan administratif atau teknis. Pemilu harus tetap dilaksanakan menyeluruh dalam satu siklus lima tahunan, sebagaimana yang termuat dalam UUD 1945. “Secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” jelasnya.
Lestari juga memperingatkan bahwa apabila keputusan MK ini dilaksanakan, dampaknya bisa sangat serius terhadap legitimasi politik anggota DPRD. Ia mencontohkan, apabila masa jabatan DPRD habis dan tidak segera dilakukan pemilu sesuai jadwal lima tahunan, maka keberadaan anggota DPRD selanjutnya akan menjadi tidak sah secara konstitusional.
Dalam skenario tersebut, jika anggota DPRD terus menjabat melewati masa bakti tanpa pemilu, maka mereka akan kehilangan dasar legitimasi demokratis. Hal ini tentu akan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945. “Jika dilakukan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode lima tahun, hal itu akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis,” ujar Lestari.
Ia menegaskan bahwa jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya sah jika didapatkan melalui pemilu yang sah pula. Tidak ada mekanisme lain dalam sistem ketatanegaraan yang dapat memberikan legitimasi politik selain melalui pemilihan umum. “Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional,” tandasnya.
Penolakan Partai Nasdem terhadap putusan MK ini mempertegas posisi partai tersebut dalam menjaga integritas konstitusi dan proses demokrasi di Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, sikap ini juga merupakan bagian dari upaya menjaga stabilitas politik dan mencegah potensi kebuntuan ketatanegaraan atau deadlock constitutional di masa depan.
Kekhawatiran Nasdem bukan tanpa alasan. Bila implementasi putusan MK berjalan tanpa revisi atau koreksi, maka kemungkinan terjadi kekosongan hukum dan ketegangan antar lembaga tinggi negara menjadi semakin besar. Terlebih lagi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, belum pernah ada pemisahan pemilu yang dilakukan dalam satu periode masa jabatan legislatif dan eksekutif nasional.
Maka dari itu, Lestari berharap agar wacana ini kembali dikaji secara mendalam, tidak hanya dari sisi administratif, melainkan juga secara filosofis dan konstitusional.
Sementara itu, di luar arena politik, wacana pemisahan pemilu ini juga memunculkan perdebatan publik. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan urgensi pemisahan tersebut, terutama mengingat konsekuensi logistik dan keuangan yang besar serta potensi meningkatnya kejenuhan publik terhadap proses pemilu yang terpisah-pisah.
Ke depan, tekanan publik dan kritik dari partai politik seperti Nasdem diperkirakan akan mendorong adanya upaya hukum lanjutan atau pengajuan judicial review terhadap putusan tersebut. Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, ruang diskursus publik dan politik terhadap putusan ini masih sangat terbuka.
Dengan demikian, polemik seputar pemisahan pemilu nasional dan lokal ini belum akan berhenti dalam waktu dekat. Langkah Nasdem dalam menyuarakan penolakan menjadi bagian penting dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi konstitusi di tengah dinamika sistem ketatanegaraan Indonesia.