Transportasi

Transportasi Online Dilarang Angkut Penumpang di Senggigi, Kotasi Lakukan Sweeping dan Tegaskan Penolakan

Transportasi Online Dilarang Angkut Penumpang di Senggigi, Kotasi Lakukan Sweeping dan Tegaskan Penolakan
Transportasi Online Dilarang Angkut Penumpang di Senggigi, Kotasi Lakukan Sweeping dan Tegaskan Penolakan

JAKARTA – Polemik penggunaan transportasi online kembali mencuat, kali ini di kawasan wisata unggulan Senggigi, Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat. Ratusan sopir transportasi wisata yang tergabung dalam Koperasi Transportasi Wisata (Kotasi) Senggigi menyatakan penolakan tegas terhadap kehadiran transportasi online di kawasan tersebut, kecuali untuk layanan Grab Car Senggigi.

Aksi penolakan ini tidak sekadar pernyataan, namun juga diwujudkan dengan aksi sweeping kendaraan serta pemasangan banner berisi larangan di sejumlah titik strategis kawasan wisata. Para sopir menilai bahwa kehadiran transportasi online di Senggigi tidak hanya melanggar kesepakatan yang telah disusun bersama, tetapi juga merugikan pengusaha dan pengemudi transportasi lokal dari segi ekonomi.

Sweeping dan Banner Penolakan Terpasang di Titik Strategis

Pantauan di lapangan menunjukkan sejumlah banner bertuliskan larangan terhadap taksi online telah terpasang di berbagai titik masuk kawasan Senggigi. Salah satu banner tersebut bertuliskan: “Kami Menolak Taksi Online di Kawasan Senggigi, Kecuali Grab Car Senggigi Drop Only.”

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk respons keras dari komunitas transportasi lokal terhadap apa yang mereka sebut sebagai ketimpangan dalam praktik bisnis transportasi pariwisata di Senggigi. Menurut mereka, perbedaan tarif, sistem operasional, hingga batas wilayah layanan yang tidak tegas dari transportasi online menjadi pemicu utama konflik.

Tarif dan Zona Jadi Sumber Masalah

Lalu Mustiadi, salah satu pengurus Kotasi Senggigi, menuturkan bahwa selama ini pihaknya sebenarnya bersikap terbuka terhadap kehadiran transportasi online. Namun, ia menekankan bahwa ada kesepakatan yang tidak dijalankan oleh sebagian besar layanan online, kecuali Grab Car Senggigi yang selama ini dianggap mematuhi aturan main.

“Selama ini kami dari Kotasi Senggigi welcome saja dengan masuknya transportasi online di wilayah wisata Senggigi ini. Namun dikarenakan beberapa permasalahan yang menurut kami sangat tidak sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan bersama, yaitu tentang tarif dan pembatasan zona yang membuat kami sangat dirugikan,” ujar Mustiadi.

Menurutnya, sistem manajemen transportasi online tidak selaras dengan sistem paguyuban yang telah diterapkan oleh Kotasi Senggigi. Bahkan, banyak layanan online dianggap tidak menghargai wilayah kerja yang sudah dibagi berdasarkan kesepakatan komunitas. Hal ini dinilai memicu persaingan tidak sehat antar pelaku transportasi.

“Kami dari komunitas transportasi lokal menghormati semua komunitas driver yang lain. Oleh karena itu perlu kita saling menghargai wilayah kerja masing-masing. Agar tercipta pemerataan secara menyeluruh, demi menjaga persaingan secara sehat dan menghindari gesekan yang tidak perlu antar komunitas yang ada,” tegasnya.

Grab Car Jadi Satu-satunya yang Diizinkan

Dari seluruh platform transportasi online yang ada, hanya Grab Car Senggigi yang masih diizinkan beroperasi dan mengambil penumpang di kawasan tersebut. Mustiadi menilai bahwa Grab Car Senggigi masih patuh terhadap batas zona serta kesepakatan tarif yang disusun bersama komunitas lokal.

“Transportasi online selain dari pada Grab Car Senggigi sangat jelas merugikan kami yang beroperasi di daerah wisata Senggigi ini. Dikarenakan harga yang tidak kompetitif,” keluh Mustiadi.

Komitmen Memberdayakan Transportasi Lokal

Nurudin, Ketua Penasehat Kotasi Senggigi, turut menyoroti dampak dari transportasi berbasis aplikasi terhadap kelangsungan usaha transportasi lokal. Ia menyebutkan bahwa sistem tarif dinamis yang digunakan transportasi online menyulitkan pengemudi lokal bersaing secara sehat. Padahal, menurutnya, transportasi lokal di Senggigi adalah salah satu ujung tombak pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat.

“Dampaknya sangat signifikan terhadap travel lokal di kawasan ini. Kami ingin memberdayakan masyarakat lokal di wilayah Senggigi ini. Sementara kalau transportasi online tidak memiliki batasan wilayah yang jelas,” ujar Nurudin.

Pihaknya juga menilai bahwa pengawasan terhadap operasional transportasi online perlu lebih ketat agar tidak memunculkan konflik horisontal antar pengemudi.

Koordinasi dengan Hotel dan Akomodasi

Langkah tegas juga diambil oleh pengurus transportasi lokal dengan menjalin koordinasi langsung dengan pihak-pihak perhotelan dan akomodasi di wilayah Senggigi. Ketua Transportasi Wisata Senggigi, Muh Tauhid, menyebut bahwa hampir semua hotel telah sepakat untuk mengarahkan tamu mereka menggunakan jasa transportasi lokal.

“Kami sudah berkoordinasi dengan sejumlah perhotelan dan akomodasi penginapan yang ada di wilayah Senggigi. Hasilnya, pihak hotel sudah sepakat dan akan menyampaikan kepada para tamu mereka agar menggunakan transportasi lokal Senggigi,” kata Tauhid.

Ia menambahkan, kesepakatan ini menjadi bagian dari komitmen bersama dalam menjaga ekosistem transportasi pariwisata yang kondusif dan adil di Senggigi. “Kalau sampai ada yang melanggar pasti akan kami peringatkan bahkan berikan sanksi sekalipun,” tandasnya.

Transportasi Online Harus Ikuti Aturan Lokal

Para pengurus Kotasi Senggigi mendesak agar pemerintah daerah dan stakeholder terkait segera mengambil langkah untuk menengahi konflik dan menyusun regulasi yang adil bagi semua pihak. Mereka berharap adanya penegakan aturan yang bisa menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kelangsungan hidup pelaku usaha lokal.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak perusahaan transportasi online yang ditolak beroperasi di kawasan Senggigi, selain Grab. Namun, aksi sweeping dan penolakan dari komunitas lokal ini diyakini akan berdampak terhadap pola perjalanan wisatawan yang mengandalkan layanan berbasis aplikasi di kawasan tersebut.

Penolakan terhadap transportasi online oleh Kotasi Senggigi menyoroti pentingnya pengaturan transportasi wisata yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat lokal tanpa mengabaikan kebutuhan konsumen akan layanan modern. Ketegangan ini bisa menjadi pelajaran penting bagi daerah wisata lain untuk menyusun sistem transportasi yang inklusif dan berkeadilan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index