JAKARTA – Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati yang dibangun dengan infrastruktur megah dan ambisi besar untuk menjadi pusat transportasi udara di wilayah timur Jawa Barat hingga sebagian Jawa Tengah, justru belum mampu menarik minat penumpang secara signifikan. Menurut pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, problem utama bandara tersebut bukan pada fasilitas fisiknya, tetapi pada ketiadaan strategi pasar yang matang dan jelas.
"Bandara tidak bisa hanya dibangun untuk kepentingan fisik semata. Ia harus punya wilayah pelayanan atau interland yang jelas," kata Sony.
Infrastruktur Megah, Penumpang Sepi
Bandara Kertajati terletak di Kabupaten Majalengka dan digadang-gadang menjadi solusi kepadatan lalu lintas udara di Bandara Soekarno-Hatta maupun Bandara Husein Sastranegara. Dengan landasan pacu sepanjang 3.000 meter, terminal penumpang berkapasitas hingga 5 juta orang per tahun, serta fasilitas moderen lainnya, Kertajati disebut sebagai salah satu bandara termegah di Indonesia.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Aktivitas penerbangan masih tergolong minim. Jumlah penumpang harian masih jauh dari kapasitas maksimal yang disiapkan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bahkan menyindir kondisi Bandara Kertajati yang "seperti peuteuy selong"—istilah Sunda yang merujuk pada sesuatu yang tampak besar, tapi isinya kosong.
Sindiran tersebut sekaligus mengangkat kembali isu soal biaya operasional bandara yang tinggi. Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa Bandara Kertajati menyebabkan kerugian hingga Rp30 miliar setiap tahun karena rendahnya tingkat utilisasi.
Tidak Punya Interland yang Kuat
Menurut Sony Sulaksono, dalam perencanaan transportasi, penting untuk memperhitungkan keberadaan interland atau wilayah layanan yang menjadi pangsa pasar utama bandara. Ia mencontohkan Bandara Soekarno-Hatta yang secara konsisten melayani wilayah Jabodetabek, dan Bandara Husein Sastranegara yang dulu melayani Bandung Raya.
“Bandara harus dibangun berdasarkan kebutuhan nyata dan didukung strategi pasar yang sesuai dengan karakter wilayah sekitarnya,” ujarnya. Sony menilai bahwa kelemahan BIJB Kertajati terletak pada tidak adanya pendekatan serius terhadap pembentukan pasar pengguna. Meskipun secara geografis bisa menjangkau Majalengka, Subang, Indramayu, Cirebon, hingga sebagian Jawa Tengah seperti Brebes dan Cilacap, konektivitas dan integrasi dengan moda transportasi lain masih minim.
Pergeseran Fungsi Bandara Husein Sastranegara
Pembangunan Bandara Kertajati semula dirancang sebagai pengganti fungsi Bandara Husein Sastranegara di Bandung. Namun, masyarakat Bandung dan sekitarnya menilai lokasi Kertajati terlalu jauh dan tidak praktis. Alih-alih memindahkan semua rute penerbangan dari Bandung ke Kertajati, banyak maskapai justru mengurangi frekuensi penerbangan karena rendahnya permintaan.
“Warga Bandung enggan berpindah ke Kertajati karena faktor jarak dan waktu tempuh. Tanpa konektivitas yang efisien, sulit mengharapkan perpindahan arus penumpang secara alami,” tutur Sony.
Konektivitas dan Akses Jadi Kunci
Dalam banyak studi transportasi, keterjangkauan dan kemudahan akses merupakan faktor penentu dalam memilih moda dan titik keberangkatan perjalanan. Sayangnya, hingga kini Bandara Kertajati belum terhubung secara optimal dengan jaringan transportasi publik yang andal. Belum tersedia moda cepat seperti kereta api atau angkutan umum langsung dari pusat-pusat kota seperti Bandung atau Cirebon menuju Kertajati.
“Sistem transportasi pendukung belum dibangun secara komprehensif. Kita perlu mengembangkan aksesibilitas melalui jalan tol yang efisien, serta transportasi umum yang terjadwal dan terintegrasi,” ujar Sony menambahkan.
Potensi Kertajati Masih Terbuka
Kendati menghadapi berbagai tantangan, Sony menilai bahwa masa depan Bandara Kertajati belum sepenuhnya tertutup. Dengan pengembangan kawasan industri dan logistik di sekitar Majalengka serta rencana penyambungan jalan tol dan proyek kereta cepat, Kertajati bisa menjadi simpul penting dalam jaringan transportasi nasional.
Namun demikian, ia menekankan bahwa pemerintah dan operator bandara harus bergerak cepat menyusun ulang strategi bisnis. Salah satunya adalah memperkuat kerja sama dengan maskapai penerbangan dan penyedia logistik untuk membuka lebih banyak rute domestik dan internasional. Strategi promosi dan subsidi harga tiket juga perlu dipertimbangkan untuk menggenjot minat penumpang.
“Bandara ini punya potensi besar, tapi harus diiringi dengan pendekatan pasar yang tepat. Jangan sampai infrastruktur besar hanya menjadi monumen tanpa fungsi,” kata Sony menutup.
Evaluasi dan Rekomendasi
Evaluasi menyeluruh terhadap rencana bisnis Bandara Kertajati perlu dilakukan. Pemerintah daerah dan pusat harus duduk bersama dengan operator bandara, penyedia layanan transportasi, dan sektor swasta untuk merumuskan peta jalan pengembangan yang realistis dan terukur.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan, antara lain:
-Meningkatkan konektivitas transportasi darat, khususnya pembangunan jalur kereta atau bus rapid transit menuju bandara dari kota-kota besar terdekat.
-Mendorong insentif untuk maskapai penerbangan agar membuka lebih banyak rute dari dan ke Kertajati.
-Mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK) di sekitar bandara untuk menarik investor dan meningkatkan arus penumpang bisnis.
-Menyesuaikan strategi promosi untuk menyasar segmen penumpang potensial, baik domestik maupun luar negeri.
Bandara Kertajati menjadi simbol ambisi besar dalam pembangunan infrastruktur transportasi Indonesia. Namun, tanpa dukungan strategi pasar, konektivitas, dan kebijakan pendukung yang tepat, bandara tersebut berisiko terus merugi. Pendapat dari pakar transportasi seperti Sony Sulaksono memberikan gambaran bahwa persoalan transportasi bukan semata-mata soal fisik, melainkan juga tentang manajemen dan strategi pemanfaatan sumber daya.
Dengan sinergi antarpemangku kepentingan, Kertajati masih bisa berkembang menjadi pusat transportasi yang efisien dan berdaya saing tinggi. Namun, pekerjaan rumahnya jelas: membangun interland, menyusun ulang strategi pasar, dan memperkuat konektivitas.