JAKARTA – Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memberikan dukungan penuh atas pelaksanaan groundbreaking megaproyek ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang dijadwalkan berlangsung pada pekan ketiga Juni 2025. Proyek ini menjadi tonggak penting dalam pengembangan industri strategis nasional yang tidak hanya berorientasi pada produksi, tetapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan agar memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian dan lingkungan hidup di Indonesia.
Megaproyek ini meliputi pembangunan berbagai fasilitas utama yang akan menopang ekosistem baterai kendaraan listrik di dalam negeri, mulai dari pengolahan dan pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL), pabrik produksi prekursor dan katoda, hingga fasilitas manufaktur sel baterai dan battery pack. Semua fasilitas tersebut akan terintegrasi secara vertikal sehingga menghasilkan nilai tambah yang maksimal dari sumber daya alam Indonesia.
Anggota Komisi XII DPR RI, Gandung Pardiman, menegaskan bahwa pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik ini adalah langkah strategis yang sangat krusial untuk memperkuat struktur industri nasional. “Ini bukan sekadar proyek industri biasa. Groundbreaking ini mencerminkan arah kebijakan negara yang ingin keluar dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Kita harus membangun ekosistem industri dari hulu sampai hilir di dalam negeri,” ujar Gandung.
Menurut Gandung, megaproyek baterai EV bukan hanya soal pengembangan teknologi, melainkan juga sebuah lompatan besar dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju kemandirian industri dan peningkatan nilai tambah produk lokal. “Dengan membangun seluruh rantai pasok industri baterai kendaraan listrik di dalam negeri, kita tidak hanya mengolah sumber daya nikel secara langsung, tetapi juga membuka kesempatan besar untuk pengembangan usaha lokal dan lapangan pekerjaan,” lanjutnya.
Investasi Besar, Manfaat Luas
Proyek ini diperkirakan akan menyedot investasi sebesar US$6–7 miliar atau sekitar Rp97–114 triliun. Selain memperkuat industri nasional, nilai investasi tersebut juga diproyeksikan mampu menciptakan lebih dari 20.000 lapangan kerja baru yang tersebar di berbagai wilayah, terutama di daerah penghasil nikel seperti Sulawesi dan Maluku. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi perekonomian daerah yang selama ini bergantung pada ekspor bahan mentah.
Dalam konteks ekonomi, Gandung menekankan pentingnya inklusivitas dalam pelaksanaan megaproyek ini. “Proyek ini harus dijalankan secara inklusif dengan melibatkan pelaku usaha nasional, termasuk BUMN, koperasi, dan UMKM. Hal ini agar nilai ekonomi yang tercipta dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan tidak hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak,” ungkapnya.
Prinsip Berkelanjutan Jadi Fokus Utama
Salah satu poin yang sangat ditekankan oleh DPR adalah bahwa pengembangan ekosistem baterai EV harus berlandaskan prinsip keberlanjutan. Hal ini terkait dengan pengelolaan lingkungan dan sosial yang bertanggung jawab, agar megaproyek ini tidak menimbulkan dampak negatif jangka panjang. Gandung menyebutkan bahwa keberlanjutan harus menjadi panduan utama dalam setiap tahapan pembangunan dan operasional proyek.
“Prinsip berkelanjutan harus diutamakan agar kita bisa menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memberikan manfaat sosial yang optimal. Industri ini harus berjalan seiring dengan konservasi sumber daya alam dan perlindungan ekosistem sekitar,” tutur Gandung.
Selain aspek lingkungan, DPR juga mengingatkan perlunya pengawasan ketat terkait tata kelola proyek, transparansi, dan pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, megaproyek ini diharapkan dapat menjadi contoh pengembangan industri hijau dan ramah lingkungan yang dapat direplikasi di sektor lain.
Peran Strategis Ekosistem Baterai dalam Transformasi Energi
Pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik merupakan bagian dari strategi nasional untuk mendukung transisi energi bersih dan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pemerintah menargetkan kendaraan listrik akan menjadi tulang punggung mobilitas masa depan Indonesia yang lebih ramah lingkungan.
Selain mengurangi emisi karbon, industri baterai EV ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan sektor hilir yang berorientasi ekspor dengan nilai tambah tinggi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yang berpotensi menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Oleh karena itu, pengembangan smelter HPAL dan pabrik baterai menjadi langkah strategis untuk mengoptimalkan potensi tersebut.
Tantangan dan Harapan
Meski proyek ini menjanjikan dampak ekonomi yang besar, tantangan dalam pelaksanaannya juga tidak kecil. Gandung mengingatkan bahwa keberhasilan megaproyek ini bergantung pada sinergi berbagai pemangku kepentingan dan kesiapan infrastruktur pendukung. Selain itu, penanganan aspek lingkungan dan sosial harus dilakukan secara serius agar tidak mengorbankan kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Semua pihak harus bersinergi, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat agar proyek ini bisa berjalan lancar dan memberikan manfaat sebesar-besarnya,” pungkas Gandung.
Groundbreaking megaproyek ekosistem baterai kendaraan listrik yang akan dilaksanakan pada Juni 2025 merupakan momentum strategis bagi Indonesia untuk memperkuat industri nasional berbasis nilai tambah, menciptakan lapangan kerja baru, dan mendukung transformasi energi bersih. Namun, proyek ini harus dijalankan dengan prinsip keberlanjutan yang ketat dan melibatkan pelaku usaha nasional secara inklusif agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan investasi besar yang digelontorkan dan komitmen kuat dari DPR serta berbagai pihak terkait, megaproyek ini berpotensi mengubah wajah industri dan perekonomian Indonesia secara fundamental di masa depan.