JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia menanggapi peristiwa viral meninggalnya seorang pasien bernama Desi Erianti (53), yang diduga ditolak oleh Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Rasidin, Padang, Sumatera Barat. Kasus ini memicu sorotan publik karena menyangkut layanan darurat yang seharusnya menjadi prioritas utama di fasilitas kesehatan.
Desi Erianti dikabarkan datang ke IGD RSUD Rasidin dengan menggunakan fasilitas Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, pihak rumah sakit menyatakan bahwa kondisi pasien tidak masuk dalam kategori gawat darurat, sehingga disarankan untuk dirujuk ke Puskesmas. Setelah itu, pasien dibawa ke rumah sakit swasta oleh pihak keluarga, tetapi nyawanya tidak tertolong.
Menanggapi hal ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Mulawarman, menegaskan bahwa seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), termasuk puskesmas, klinik, dan rumah sakit, memiliki kewajiban mutlak untuk memberikan pelayanan medis kepada masyarakat, terutama dalam kondisi kegawatdaruratan. “Fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas, klinik, rumah sakit) wajib memberikan pelayanan bagi orang dengan kondisi gawat darurat,” ujar Aji Mulawarman.
Penanganan Gawat Darurat Adalah Prioritas
Aji menjelaskan bahwa dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, fasilitas pelayanan tingkat pertama seperti puskesmas memang berperan dalam aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun, bila kondisi pasien memerlukan tindakan lebih lanjut, maka faskes tersebut wajib merujuk pasien ke rumah sakit.
“Dalam konteks kasus, sepanjang bisa ditangani di fasyankes tingkat pertama, seperti puskesmas, maka akan ditangani di sana, kecuali dalam kondisi yang perlu dirujuk ke faskes lanjutan seperti rumah sakit,” ujar Aji.
Menurutnya, kegawatdaruratan medis mencakup berbagai kondisi klinis yang membutuhkan tindakan medis segera guna menyelamatkan nyawa dan mencegah terjadinya komplikasi serius atau bahkan kematian. Di antaranya adalah gangguan jalan napas, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi darah, penurunan kesadaran, dan kondisi lainnya yang memerlukan intervensi medis segera.
“Kondisi kegawatdaruratan antara lain berupa gangguan pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi, penurunan kesadaran, gangguan hemodinamik, dan atau kondisi lainnya yang memerlukan tindakan segera,” jelas Aji.
Penilaian terhadap kondisi pasien yang masuk kategori gawat darurat, lanjutnya, hanya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi. Oleh sebab itu, keputusan untuk menerima atau menolak pasien harus melalui proses pemeriksaan medis yang objektif dan berdasarkan standar klinis yang berlaku.
Pengawasan Faskes Menjadi Tanggung Jawab Pemda
Kemenkes juga menekankan bahwa pengawasan terhadap layanan di RSUD maupun rumah sakit swasta merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Setiap kasus dugaan penolakan pasien harus ditelusuri dengan cermat dan menyeluruh.
“Mesti dilihat dulu dengan seksama masalahnya apa dengan penolakan tersebut,” imbuh Aji.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut hak dasar masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan, terutama bagi pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang seharusnya mendapatkan perlakuan setara.
Klarifikasi RSUD Rasidin Padang
Di sisi lain, pihak RSUD Rasidin Padang melalui Direktur Utama, dr. Desy Susanty, memberikan klarifikasi terkait insiden tersebut. Ia menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan tim medis di IGD, pasien Desi Erianti tidak menunjukkan gejala medis yang masuk kategori kegawatdaruratan. Pasien disebut mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan.
“Kalau laporan dari teman-teman di IGD, kondisinya yang ditemukan normal. Tidak ada kondisi kritis,” kata dr. Desy, Minggu (1/6/2025).
Lebih lanjut, Desy menjelaskan bahwa pasien kemudian disarankan untuk mendapatkan penanganan di puskesmas, sesuai dengan ketentuan layanan rujukan berjenjang dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, keputusan tersebut kini menuai perdebatan setelah pasien dilaporkan meninggal dunia beberapa jam kemudian.
Sorotan Terhadap Prosedur Penanganan Pasien
Kasus ini mengundang sorotan tajam terhadap sistem penanganan pasien di fasilitas kesehatan, khususnya terkait kebijakan penerimaan di IGD. Banyak pihak mempertanyakan apakah penolakan terhadap pasien Desi Erianti merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pelayanan medis darurat atau justru merupakan implementasi dari prosedur klinis yang benar.
Pengamat kebijakan kesehatan menilai bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh rumah sakit dan tenaga medis untuk lebih berhati-hati dalam melakukan asesmen terhadap pasien. Penilaian yang keliru dapat berakibat fatal, sebagaimana terjadi dalam kasus Desi Erianti.
Selain itu, kasus ini juga mengindikasikan perlunya evaluasi terhadap pelatihan dan pembinaan tenaga medis di unit gawat darurat. Kompetensi dan kepekaan dalam menilai kondisi pasien sangat menentukan kualitas pelayanan serta kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan.
Desakan Evaluasi dan Transparansi
Sejumlah kalangan mendorong agar Kementerian Kesehatan bersama Pemerintah Daerah Sumatera Barat melakukan investigasi menyeluruh atas kasus ini. Transparansi dalam pengungkapan fakta dianggap penting agar tidak menimbulkan persepsi negatif terhadap layanan publik, khususnya di sektor kesehatan.
Kemenkes sendiri menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut bersama pihak terkait untuk menelusuri kemungkinan adanya kelalaian prosedur atau pelanggaran terhadap ketentuan pelayanan kegawatdaruratan. Penegakan sanksi bisa dijatuhkan bila terbukti ada kelalaian dari pihak rumah sakit.
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak kesehatan, kasus ini menjadi pengingat keras bahwa sistem kesehatan nasional harus benar-benar hadir dalam situasi krisis, bukan hanya dalam tataran regulasi, tetapi dalam praktik pelayanan di lapangan.
Tragedi yang menimpa Desi Erianti menyisakan duka dan pertanyaan besar tentang standar pelayanan medis darurat di Indonesia. Perlu ada penguatan sistem, pengawasan ketat, dan pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan, agar tidak ada lagi nyawa yang hilang akibat miskomunikasi atau kesalahan penilaian dalam situasi darurat.
Kemenkes mengimbau seluruh fasyankes untuk menjadikan insiden ini sebagai refleksi dan momentum perbaikan.
“Penanganan terhadap kondisi gawat darurat adalah hal fundamental dalam sistem kesehatan. Ini menyangkut keselamatan nyawa,” tegas Aji Mulawarman.
Sebagaimana publik berharap, semoga ke depan tidak ada lagi pasien yang harus mengalami penolakan hanya karena persoalan administratif atau penilaian yang tidak akurat. Nyawa manusia harus menjadi prioritas utama dalam setiap layanan kesehatan.