JAKARTA - Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 27/1998 untuk menangani masalah perbankan krisis.
Meskipun dibentuk untuk menyehatkan sektor perbankan dan mengelola aset bermasalah, lembaga ini tidak berhasil mencapai hasil yang optimal.
Akibatnya, pada 27 Februari 2004, enam tahun setelah pembentukannya, BPPN resmi dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mengakhiri tugas lembaga tersebut.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional memiliki peran penting dalam program jaminan pemerintah dan restrukturisasi perbankan pada masa krisis.
Sejarah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) didirikan pada 26 Januari 1998 dengan tujuan untuk mengelola dan merestrukturisasi bank-bank yang mengalami kesulitan.
Awalnya direncanakan untuk beroperasi selama lima tahun, namun proses likuidasi BPPN memakan waktu lebih lama, akhirnya selesai pada 30 April 2004.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1998, BPPN diberi mandat untuk mengawasi, mengelola, dan merestrukturisasi bank-bank bermasalah serta mengelola aset pemerintah yang terkait dengan bank tersebut.
Tugas BPPN diperluas pada 27 Februari 1999, mencakup pengelolaan aset yang dilepaskan dan meningkatkan pemulihan aset bank bermasalah.
Selama masa operasinya, BPPN melakukan berbagai kegiatan seperti restrukturisasi bank, pengelolaan aset, serta penyelesaian kewajiban pemegang saham untuk memulihkan dana negara.
Tugas BPPN
Awalnya, tujuan pembentukan BPPN adalah untuk menciptakan lembaga negara yang berfokus pada penyehatan sektor perbankan, menyelesaikan masalah aset bermasalah, serta berusaha mengembalikan dana negara yang disalurkan ke sektor perbankan, sekaligus mengelola program jaminan pemerintah (Indonesian Bank Restructuring Agency/IBRA).
Namun, kenyataannya lembaga ini gagal menjalankan tugasnya dengan baik, terbukti dari banyaknya perbankan yang masih bermasalah pada saat itu.
BPPN dinilai tidak berhasil mengatasi persoalan perbankan yang menjadi tanggung jawab utamanya.
Perjalanan BPPN hingga Dibubarkan
Meskipun telah lama dibubarkan, tidak ada salahnya untuk memahami perjalanan BPPN sejak awal dibentuk hingga akhirnya dibubarkan.
Walaupun kinerjanya di akhir masa operasionalnya dinilai kurang memadai, BPPN sempat berhasil dalam mengembalikan sejumlah dana negara. Berikut adalah perjalanan BPPN dari pembentukan hingga pembubarannya:
Februari 1998
BPPN dibentuk di tengah krisis moneter 1998 dengan tugas utama untuk menangani permasalahan perbankan, mengelola aset bermasalah, dan mengupayakan pemulihan dana negara yang disalurkan ke sektor perbankan.
Pemerintah saat itu tidak menyebut adanya bank yang bermasalah, namun kenyataannya banyak bank yang mengalami kesulitan.
Untuk menjalankan tugas tersebut, BPPN diberi kewenangan resmi yang tercantum dalam Keppres No. 34 Tahun 1998.
Pertengahan 1998
Di bawah pimpinan Glenn Yusuf, BPPN memperkuat organisasinya dengan mendirikan divisi khusus.
Salah satunya adalah Divisi Asset Management Credit (AMC) untuk menangani kredit bermasalah pada bank yang ditutup atau diambil alih oleh pemerintah, serta Divisi Asset Management Investment (AMI) yang bertugas mengelola aset bank dan pemilik bank.
Total nilai aset yang dikelola oleh AMC dan AMI pada saat itu mencapai Rp 640 triliun.
September 1998 - Awal 1999
Kinerja BPPN pada awalnya cukup baik dengan berhasil mengumpulkan Rp 112,643 triliun dari sembilan konglomerat pemilik bank.
BPPN juga berhasil membuat kesepakatan dengan beberapa konglomerat melalui Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Notes Issues Agreement (MRA).
Selain itu, BPPN membentuk perusahaan induk untuk mengelola penjualan aset.
Mei 1999 - Desember 2000
Meski sukses di awal, BPPN menghadapi kendala dalam pengembalian aset yang seharusnya sudah ditangani.
Masalah muncul terkait kelengkapan dokumen dan saham yang sudah berpindah tangan, serta perbedaan valuasi aset yang diserahkan kepada BPPN.
Salim Grup yang pada valuasi auditor mengaku mempunyai aset senilai Rp 52,667 triliun ternyata saat dilakukan due diligence oleh Holdiko, nilai asetnya tidak lebih dari Rp 20 triliun.
Mei - Juli 2002
Untuk mengatasi kendala pengalihan aset, BPPN mengambil kebijakan baru guna mempercepat pengembalian aset. Kebijakan ini termasuk penyelesaian Asset Transfer Kit (ATK), restrukturisasi utang, dan penjualan hak tagih.
Wacana pembubaran BPPN yang telah dijadwalkan pada tahun 2004 semakin mengemuka, karena lembaga ini dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugasnya.
Juni 2002
Syafruddin A. Temenggung, kepala BPPN saat itu, bertekad untuk mempercepat proses pembubaran BPPN lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Program penjualan 2.500 aset senilai Rp 158 triliun dilakukan secara bersamaan, dengan aset yang tidak laku dikelola oleh joint venture, holding company, dan clearing house yang khusus menangani penukaran aset dan obligasi.
Februari - Maret 2003
Pada Februari 2003, BPPN melakukan diskusi dengan Komisi V DPR RI mengenai nasib lembaga tersebut.
Syafruddin mengeluhkan kurangnya dukungan dari pemerintah. Meskipun Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada BPPN, di lapangan hal tersebut tidak banyak membantu dalam pelaksanaannya.
Hal ini terlihat dari 66 surat sita yang dikeluarkan terhadap aset pengurangan, hanya tiga bulan yang berhasil dimenangkan dan berhasil dilakukan penyitaan.
Sebulan kemudian, pada Maret 2003, BPPN mempresentasikan skenario untuk mengakhiri lembaga negara tersebut di depan para pejabat Departemen Keuangan.
27 Februari 2004
BPPN akhirnya dibubarkan secara resmi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keppres Nomor 16 Tahun 2004, yang menunjuk Boediono, Menteri Keuangan, sebagai Ketua Tim Pemberesan BPPN.
Dengan demikian, BPPN secara resmi dibubarkan pada tanggal tersebut.
Ketua BPPN
Berikut adalah daftar ketua-ketua BPPN sepanjang masa operasionalnya:
-Bambang Subianto: Januari 1998 - Maret 1998
-Iwan Prawiranata: Maret 1998 - 22 Juni 1998
-Glenn MS Yusuf: 22 Juni 1998 - 12 Januari 2000
-Cacuk Sdarijanto: 12 Januari 2000 - 25 Juni 2001
-Edwin Gerungan: 6 November 2000 - 25 Juni 2001
-I Putu Gede Ary Suta: 25 Juni 2001 - 19 April 2002
-Syafruddin Arsjad Temenggung: 19 April 2002 - 27 Februari 2004
Bank Dalam Pengawasan Khusus
Program restrukturisasi perbankan nasional dilaksanakan melalui beberapa langkah penting, seperti pembentukan BPPN, penjaminan pemerintah, dan program rekapitalisasi perbankan.
Namun, meskipun langkah-langkah ini telah diambil, masih terdapat beberapa bank yang menghadapi kesulitan yang dapat membahayakan keberlanjutan usaha mereka atau sistem perbankan secara keseluruhan.
Untuk itu, bank perlu mengambil tindakan yang tepat, seperti pengawasan intensif dan pengawasan khusus, agar sistem perbankan yang sehat dapat tercipta secara efektif.
Bagi bank yang masih memiliki prospek untuk menjadi sehat, perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyehatan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menetapkan persyaratan dan kriteria yang jelas serta transparan mengenai tingkat kesulitan yang dihadapi oleh bank dalam operasional mereka.
Langkah-langkah koordinasi dan mekanisme yang diperlukan dalam restrukturisasi perbankan nasional juga perlu diperhatikan.
Koordinasi antara Bank Indonesia dengan BPPN dilakukan dalam bentuk kesepakatan bersama antara Gubernur Bank Indonesia dan Ketua BPPN.
Sebagai bagian dari program rekapitalisasi perbankan, pada akhir tahun 2001, perbankan diwajibkan memenuhi rasio kewajiban penyediaan modal minimum sebesar 8% atau lebih.
Strategi Pengawasan oleh Bank Indonesia
Dalam menjalankan tugas pengawasan, Bank Indonesia menggunakan beberapa jenis pengawasan yang disesuaikan dengan kondisi bank, antara lain:
-Pengawasan Normal (Rutin)
-Pengawasan Intensif (Intensive Supervision)
-Pengawasan Khusus (Special Surveillance)
Selain itu, Bank Indonesia juga tetap mengawasi Bank Dalam Penyehatan (BDP), memantau penyelesaian Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), serta Bank Dalam Likuidasi (BDL) sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pendekatan Pengawasan oleh Bank Indonesia
Dalam strategi pengawasan ini, Bank Indonesia menggunakan dua jenis pendekatan pengawasan, yaitu:
-Pengawasan Tidak Langsung (Off Site Supervision): Pengawasan dan analisis yang dilakukan berdasarkan laporan berkala (regulatory reports) yang disampaikan oleh bank, informasi dari komunikasi lainnya, serta data dari pihak luar.
-Pengawasan Langsung (On Site Examination): Pemeriksaan langsung pada bank untuk menilai dan mengevaluasi tingkat kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
-Kedua jenis pengawasan ini mencakup analisis kondisi bank saat ini dan proyeksi di masa depan (forward-looking).
Pengawasan Normal
Pengawasan normal dilakukan terhadap bank yang tidak menunjukkan potensi masalah atau ancaman terhadap kelangsungan usahanya.
Frekuensi pengawasan dan pemantauan kondisi bank dilakukan secara rutin, dengan pemeriksaan dilakukan secara berkala, minimal setahun sekali.
Pengawasan Intensif
Pengawasan intensif diterapkan pada bank yang menunjukkan tanda-tanda potensi kesulitan yang dapat mengancam kelangsungan usahanya. Langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia dalam pengawasan intensif antara lain:
-Meminta bank untuk melaporkan informasi tertentu kepada Bank Indonesia.
-Meningkatkan frekuensi pembaruan dan penilaian rencana kerja sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
-Meminta bank untuk menyusun rencana tindakan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi.
-Menempatkan pengawas atau pemeriksa Bank Indonesia di bank tersebut jika diperlukan.
Jika dalam pengawasan intensif bank tidak menunjukkan perbaikan pada kondisi keuangan dan manajerialnya, maka bank tersebut akan diklasifikasikan sebagai bank yang memiliki kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dan statusnya akan dinaikkan menjadi pengawasan khusus.
Pemeriksaan langsung pada bank biasanya ditingkatkan untuk memantau kinerja sesuai dengan komitmen dan rencana perbaikan yang telah disampaikan oleh manajemen bank.
Pengawasan Khusus
Pengawasan khusus diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan serius yang dapat mengancam kelangsungan usahanya. Beberapa tindakan yang diambil oleh Bank Indonesia dalam pengawasan khusus meliputi:
1. Memerintahkan bank atau pemegang saham bank untuk menyusun rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis kepada Bank Indonesia.
2. Memerintahkan bank untuk melaksanakan tindakan yang tercantum dalam rencana perbaikan (mandatory supervisory actions).
3. Memerintahkan bank atau pemegang saham untuk mengambil langkah-langkah berikut:
-Mengganti dewan komisaris dan direksi bank.
-Menghapuskan kredit atau pembiayaan bermasalah berdasarkan prinsip syariah dan memperhitungkan kerugian terhadap modal bank.
-Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.
-Menjual bank kepada pihak yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya.
-Menyerahkan pengelolaan sebagian atau seluruh kegiatan bank kepada pihak lain.
-Menjual sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank kepada pihak lain.
-Membekukan kegiatan usaha tertentu dari bank.
Larangan dan Pembatasan pada Bank dalam Pengawasan Khusus
Beberapa larangan dan pembatasan yang dikenakan kepada bank dalam pengawasan khusus antara lain:
-Bank dilarang membagikan dividen atau memberikan bonus kepada pihak manapun.
-Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
-Pembatasan pertumbuhan aset bank.
-Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi.
-Pembatasan kompensasi kepada pihak terkait.
Bank dalam Penyehatan
Bank dapat dikategorikan sebagai bank dalam penyehatan (BDP) jika masih memiliki potensi untuk diperbaiki, khususnya dari sisi permodalan.
Selama proses penyehatan oleh BPPN, kerjasama dan komunikasi yang intensif dilakukan antara Bank Indonesia dan BPPN, terutama terkait perkembangan indikator utama kinerja bank.
Indikator tersebut mencakup kinerja permodalan, rasio likuiditas (giro wajib minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial (BMPK, PDN, PPAP), dan pencapaian rencana kerja yang telah disusun.
Apabila kondisi bank membaik dan proses penyehatan selesai atau dinyatakan berhasil, status bank dalam penyehatan akan dicabut, dan bank akan diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk dilakukan pengawasan yang diperlukan.
Namun, apabila kondisi bank semakin memburuk, status BDP dapat diubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha.
Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)
Bank akan diberi status Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) jika kondisi bank sangat memburuk atau jika program penyehatan yang dilakukan oleh BPPN tidak berhasil diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati.
Bahkan, jika program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun batas waktu yang telah ditentukan belum tercapai, status BBKU akan diterapkan.
Setelah BPPN menyelesaikan langkah-langkah yang diperlukan untuk bank dengan status BBKU, langkah selanjutnya adalah pencabutan izin usaha, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank tersebut.
Sebagai penutup, sebagai lembaga yang memainkan peran penting dalam stabilitas perbankan, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah meninggalkan warisan yang signifikan dalam sejarah sistem keuangan Indonesia.