JAKARTA – Aktivitas penyeberangan laut ke Pulau Enggano, salah satu pulau terluar di Provinsi Bengkulu, lumpuh total selama sepekan terakhir. Satu-satunya armada penyeberangan reguler, yakni Kapal Motor Penumpang (KMP) Pulo Tello, tidak dapat beroperasi akibat kehabisan bahan bakar minyak (BBM), sehingga menyebabkan dampak serius bagi konektivitas dan ekonomi masyarakat pulau tersebut.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat Enggano merupakan wilayah kepulauan yang sangat bergantung pada transportasi laut untuk distribusi barang, mobilitas warga, serta pengangkutan hasil pertanian ke daratan utama.
Kepala Supervisi Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) untuk KMP Pulo Tello, Radmiadi, membenarkan penghentian operasional kapal karena ketiadaan pasokan solar. “Terakhir kami berlayar pada 27 April. Setelah itu tidak bisa lagi menyeberang karena tidak ada pasokan minyak,” ungkap Radmiadi saat dikonfirmasi.
Ia menjelaskan bahwa kapal memerlukan sekitar 10.000 liter solar untuk satu kali pelayaran pulang-pergi antara Pelabuhan Pulau Baai dan Enggano. Namun, pengisian BBM secara darat ke lokasi kapal yang saat ini tengah lego jangkar di luar alur pelabuhan tidak memungkinkan karena kondisi geografis yang sulit serta pendangkalan alur pelabuhan yang menghambat kapal bersandar.
“Bahkan tugboat yang biasanya digunakan untuk mengangkut penumpang dari dermaga ke kapal sudah tidak bisa melintas, sudah karam. Ini bukan sekadar kendala teknis, tapi sudah menjadi isu keselamatan,” lanjut Radmiadi.
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan koordinasi dengan berbagai instansi, termasuk Pertamina, namun hingga kini belum ada solusi nyata. “Masyarakat dan pemerintah terus bertanya kapan kapal bisa beroperasi lagi. Kami sendiri belum bisa memberi kepastian,” ujar Radmiadi.
Sementara itu, masyarakat Pulau Enggano menjadi pihak yang paling terdampak atas lumpuhnya akses laut ini. Aktivitas perekonomian mereka, khususnya sektor pertanian, nyaris terhenti. Salah seorang petani pisang, Perhadi (40), mengaku terpaksa membuang hasil panennya karena tidak ada kapal untuk mengangkut ke Bengkulu.
“Petani sampai membuang pisang karena tak ada kapal. Kami kecewa, hasil panen tidak bisa dijual, padahal itu sumber penghidupan,” kata Perhadi dengan nada kesal.
Tak hanya soal hasil panen yang tidak terjual, warga juga kesulitan mendapatkan bahan pokok dan barang kebutuhan harian lainnya. Sebagai alternatif, mereka terpaksa menyewa kapal ikan berukuran besar yang biasanya digunakan melaut. Namun biaya sewanya sangat tinggi, yakni antara Rp15 juta hingga Rp25 juta per perjalanan.
“Tidak pernah ada bantuan dari pemerintah, baik provinsi maupun daerah. Selama ini kami bertahan sendiri,” tambah Perhadi. Ia juga mengkhawatirkan kondisi keselamatan jika harus terus bergantung pada kapal ikan yang tidak dirancang untuk transportasi penumpang.
“Kalau terus bergantung pada kapal ikan, kami tak tahu sampai kapan bisa bertahan. Biaya tinggi dan risiko besar saat melaut sepuluh jam ke Bengkulu itu sangat mengkhawatirkan,” tuturnya.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan koordinasi infrastruktur transportasi laut yang seharusnya menjadi tulang punggung konektivitas antarwilayah, terutama wilayah kepulauan. Pendangkalan alur pelabuhan, kurangnya pasokan BBM, hingga ketiadaan jalur distribusi alternatif menunjukkan adanya kelalaian dalam menjamin pelayanan dasar untuk masyarakat pulau terluar.
Padahal dalam kerangka negara kepulauan, wilayah seperti Pulau Enggano semestinya mendapat perhatian khusus. Aksesibilitas dan pelayanan publik tidak bisa disejajarkan dengan wilayah daratan. Negara memiliki kewajiban menjamin konektivitas untuk menjamin distribusi logistik, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lokal.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi maupun langkah konkret dari Pemerintah Provinsi Bengkulu atau PT ASDP Indonesia Ferry terkait penanganan kelumpuhan transportasi ke Enggano.
Jika tidak segera ada solusi yang komprehensif, masyarakat Pulau Enggano tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga menghadapi ancaman terhadap ketahanan pangan dan akses layanan dasar. Pemerintah pusat dan daerah diminta segera turun tangan untuk menangani krisis transportasi ini sebelum situasinya makin memburuk.