Gejolak Ekonomi Nasional Menguat: Konsumsi Melemah, Ketidakpastian Global Bayangi Lebaran 2025

Rabu, 16 April 2025 | 12:45:07 WIB
Gejolak Ekonomi Nasional Menguat: Konsumsi Melemah, Ketidakpastian Global Bayangi Lebaran 2025

Jakarta - Perekonomian nasional tengah menghadapi tekanan bertubi-tubi dari dalam dan luar negeri. Menjelang perayaan Idulfitri 2025, gejala melemahnya daya beli masyarakat semakin nyata. Sementara itu, kebijakan ekonomi global, terutama dari Amerika Serikat, memperparah ketidakpastian yang membayangi pasar domestik. Sektor perbankan pun mulai mengambil langkah antisipatif terhadap potensi dampak jangka menengah hingga panjang, Rabu, 16 April 2025.

Dalam laporan terbaru Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia bertajuk “CORE Insight: Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025” yang dirilis pada Maret 2025, terungkap adanya fenomena anomali konsumsi rumah tangga yang tidak biasa terjadi menjelang Lebaran. Biasanya, periode menjelang hari besar keagamaan seperti Idulfitri identik dengan peningkatan belanja masyarakat. Namun, tren saat ini justru menunjukkan pelemahan konsumsi secara signifikan.

“Yang terjadi adalah penurunan konsumsi rumah tangga secara nyata, yang tercermin dalam laju deflasi sejak awal tahun,” ungkap Muhammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, dalam konferensi pers daring yang digelar awal April lalu.

Deflasi Muncul di Tengah Momentum Konsumsi Lebaran

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi deflasi pada Februari 2025 dengan laju tahunan sebesar -0,09 persen, deflasi bulanan sebesar -0,48 persen, serta deflasi secara year-to-date (YTD) mencapai -1,24 persen. Angka ini menjadi sinyal penting melemahnya permintaan domestik.

Kontributor utama deflasi berasal dari kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Salah satu pemicu signifikan adalah pemberian insentif berupa diskon tarif listrik sebesar 50 persen oleh pemerintah, yang berlaku untuk rumah tangga kelas menengah pada periode Januari hingga Februari 2025.

“Kebijakan diskon tarif listrik memang berdampak langsung menurunkan biaya hidup, namun juga menjadi refleksi dari lemahnya tekanan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa,” tambah Faisal.

Ketidakpastian Eksternal Perparah Situasi

Selain tekanan domestik, situasi ekonomi global turut memperburuk kondisi. Kebijakan tarif impor yang direncanakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengalami penundaan. Namun, bukan ketetapan tarifnya yang menimbulkan dampak paling signifikan, melainkan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh sikap yang berubah-ubah dari pemerintah AS.

“Ketidakpastian ini menimbulkan volatilitas pada pasar keuangan global yang berdampak pada aliran investasi dan nilai tukar, termasuk ke Indonesia,” jelas Faisal.

Kondisi ini membuat pelaku industri dan perbankan mengambil sikap hati-hati. Dunia usaha menahan ekspansi dan investasi baru, sementara perbankan memperketat penyaluran kredit konsumsi dan produktif guna menghindari risiko peningkatan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Perbankan dan Dunia Usaha Siap Antisipasi Dampak

Beberapa bank besar mulai mengantisipasi potensi tekanan dengan mengatur ulang portofolio kredit dan meninjau ulang strategi ekspansi mereka. Hal ini penting guna menjaga stabilitas permodalan serta kepercayaan investor dan nasabah.

“Bank-bank kini lebih berhati-hati menyalurkan kredit. Risiko masih tinggi, apalagi jika konsumsi terus turun,” ujar Faisal.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 diperkirakan akan mengalami perlambatan dibanding periode yang sama tahun lalu, jika tidak ada stimulus fiskal atau kebijakan moneter yang agresif.

Solusi Jangka Pendek dan Panjang

Untuk menghadapi tantangan ini, CORE Indonesia merekomendasikan pemerintah segera menyiapkan langkah-langkah terukur guna menggerakkan kembali konsumsi domestik. Stimulus fiskal yang lebih terarah, seperti subsidi langsung kepada rumah tangga berpenghasilan rendah hingga insentif usaha kecil dan menengah, dinilai lebih efektif dibandingkan kebijakan diskon tarif yang bersifat sementara.

“Kita butuh pendekatan struktural, bukan sekadar temporer. Pemulihan konsumsi tidak bisa diserahkan pada momentum seperti Lebaran saja,” tegas Faisal.

Dengan kondisi global yang tak menentu dan indikator domestik yang mulai melemah, tahun 2025 diperkirakan akan menjadi periode yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pemerintah dan pelaku usaha dituntut untuk lebih adaptif dan responsif dalam menjaga daya beli masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Terkini