Jakarta – Harga minyak mentah dunia mencatat penurunan tajam hingga menyentuh titik terendah dalam lebih dari empat tahun terakhir pada perdagangan Rabu pagi (9/4). Penurunan ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China, serta keputusan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC+) untuk meningkatkan produksi minyak global, Rabu, 9 April 2025.
Mengutip laporan Reuters, harga minyak mentah jenis Brent anjlok ke bawah level USD 61 per barel, memperpanjang tren penurunan selama lima hari berturut-turut. Sejak awal April, Brent telah kehilangan lebih dari 19% dari nilainya.
Penurunan ini terjadi usai Presiden AS Donald Trump resmi menetapkan tarif sebesar 104% terhadap barang impor dari China, menyusul kegagalan Beijing mencabut tarif balasan terhadap produk asal Amerika Serikat. Merespons kebijakan tersebut, Pemerintah China menyatakan akan terus melawan tekanan dari Washington.
Pasokan Melimpah, Permintaan Global Melemah
Tekanan terhadap harga minyak juga diperparah oleh keputusan OPEC+ yang menaikkan produksi sebesar 411.000 barel per hari mulai Mei 2025. Kebijakan ini menambah kekhawatiran akan kelebihan pasokan di tengah permintaan global yang melemah akibat ketidakpastian ekonomi global.
Bank investasi terkemuka Goldman Sachs memperkirakan harga Brent masih akan melanjutkan tren penurunannya. Dalam laporan terbarunya, Goldman menyebut harga minyak Brent berpotensi turun ke USD 62 per barel pada Desember 2025, bahkan bisa menyentuh USD 55 pada akhir 2026.
Sementara itu, jenis minyak mentah Rusia ESPO Blend dilaporkan sudah jatuh di bawah USD 60 per barel, melewati batas harga yang ditetapkan oleh negara-negara Barat sebagai sanksi ekonomi terhadap Moskow.
Data Stok AS Tak Ubah Arah Pasar
Dari sisi fundamental, data yang dirilis oleh American Petroleum Institute (API) menunjukkan bahwa stok minyak mentah di Amerika Serikat turun sebesar 1,1 juta barel pada pekan lalu. Namun, penurunan ini belum cukup signifikan untuk mengubah tren bearish di pasar minyak global. Sebelumnya, stok sempat naik hingga 6 juta barel, mencerminkan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan.
Harga BBM di Indonesia Malah Naik, Publik Bingung
Di tengah tren penurunan tajam harga minyak global, masyarakat Indonesia justru menghadapi fenomena sebaliknya: kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) telah menaikkan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Kenaikan harga ini menuai sorotan dari berbagai kalangan karena dinilai tidak sejalan dengan kondisi pasar internasional. Pemerintah dan pelaku industri beralasan bahwa formulasi harga BBM mengacu pada rata-rata harga minyak mentah dalam dua hingga tiga bulan terakhir serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Namun, argumen tersebut tidak serta-merta menenangkan publik. Banyak pihak mempertanyakan mengapa penyesuaian harga tidak dilakukan secara lebih cepat dan transparan, mengingat penurunan harga minyak dunia yang sangat signifikan.
Beban Tambahan bagi Masyarakat dan Dunia Usaha
Kenaikan harga BBM ini memberikan beban tambahan, khususnya bagi masyarakat pengguna kendaraan pribadi dan pelaku usaha logistik. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, banyak warga terpaksa mengencangkan ikat pinggang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejumlah ekonom juga menekankan perlunya evaluasi berkala terhadap kebijakan harga energi, mengingat dampaknya sangat luas terhadap inflasi dan daya beli masyarakat. Dalam situasi seperti sekarang, penyesuaian harga yang lebih cepat dan efisien menjadi tuntutan penting.
Desakan Penyesuaian Harga BBM Menguat
Seiring terus melorotnya harga minyak dunia, desakan publik agar pemerintah segera menyesuaikan harga BBM domestik pun semakin kuat. Banyak yang menilai, langkah itu perlu dilakukan untuk menjaga keadilan dan keseimbangan antara harga global dan harga konsumen di dalam negeri.
Jika tren penurunan harga minyak mentah terus berlanjut, pemerintah tak punya alasan kuat untuk menahan harga BBM tetap tinggi. Transparansi dan respons cepat terhadap dinamika pasar global menjadi kunci utama dalam meredam keresahan publik yang kian meluas.