Analis Sebut Isu Pajak di Indonesia Memang Rumit

Jumat, 04 April 2025 | 13:36:52 WIB
Analis Sebut Isu Pajak di Indonesia Memang Rumit

JAKARTA - Bank Dunia baru-baru ini merilis laporan yang menyoroti kinerja penerimaan pajak Indonesia sebagai salah satu yang terendah di dunia. Laporan tersebut mengungkap bahwa rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya mencapai 9,1% pada tahun 2021, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Kamboja (18%), Malaysia (11,9%), Filipina (15,2%), Thailand (15,7%), dan Vietnam (14,7%). 

Analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menanggapi temuan ini dengan menyatakan bahwa tantangan dalam sektor perpajakan Indonesia bukanlah hal yang mengejutkan. Ia menyoroti beberapa faktor utama yang mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, termasuk kesadaran pajak yang masih minim di kalangan masyarakat, praktik penghindaran pajak yang cukup marak, serta tingkat penerimaan pajak yang relatif rendah dibandingkan negara lain, baik dari sisi pajak penghasilan individu maupun korporasi.

Laporan Bank Dunia juga mengungkapkan bahwa selama periode 2016 hingga 2021, Indonesia diperkirakan kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun. Kehilangan ini disebabkan oleh dua faktor utama: ketidakpatuhan wajib pajak (compliance gap) dan kebijakan perpajakan yang diterapkan pemerintah (policy gap). Secara rinci, ketidakpatuhan pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyebabkan kehilangan sekitar Rp387 triliun, sementara ketidakpatuhan pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan menyumbang kehilangan sekitar Rp161 triliun. Di sisi lain, kebijakan perpajakan yang ada menyebabkan kehilangan tambahan sebesar Rp138 triliun dari PPN dan Rp258 triliun dari PPh Badan.

Lebih lanjut, Bank Dunia mencatat bahwa efisiensi pemungutan PPN di Indonesia secara konsisten berada di bawah rata-rata negara-negara tetangga. Pada tahun 2018, efisiensi PPN Indonesia mencapai 58%, masih 1 poin persentase di bawah rata-rata negara berkembang di Asia. Pada tahun 2019, efisiensi tersebut bahkan tercatat 17 poin persentase lebih rendah dibandingkan rata-rata negara tetangga regional. ?

Menanggapi situasi ini, Lukman Leong menekankan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem perpajakan Indonesia. Ia menyoroti pentingnya meningkatkan kesadaran pajak di kalangan masyarakat, memperkuat penegakan hukum terhadap praktik penghindaran pajak, serta meninjau kembali kebijakan perpajakan yang ada agar lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara.?

Bank Dunia juga merekomendasikan penurunan ambang batas pengenaan pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Saat ini, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan. Tingginya ambang batas ini menyebabkan banyak korporasi tidak dikenai pajak dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal. Menurunkan ambang batas tersebut diharapkan dapat memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara. ?

Selain itu, Bank Dunia menyoroti besarnya aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia, yang nilainya mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Aktivitas ekonomi yang tidak terdeteksi ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak.

Dalam konteks ini, Lukman Leong menegaskan bahwa tanpa upaya serius dan terkoordinasi dari pemerintah, tantangan dalam sektor perpajakan akan terus menghambat langkah Indonesia menuju perekonomian yang lebih maju. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil, transparan, dan efektif.?

Secara keseluruhan, temuan Bank Dunia dan pandangan para analis seperti Lukman Leong menegaskan perlunya reformasi mendalam dalam sistem perpajakan Indonesia. Langkah-langkah strategis yang mencakup peningkatan kesadaran pajak, penegakan hukum yang lebih ketat terhadap penghindaran pajak, revisi kebijakan perpajakan, serta penanganan aktivitas ekonomi bawah tanah menjadi krusial dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Terkini