Optimalisasi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Kian Krusial bagi Transisi Energi Indonesia

Sabtu, 29 Maret 2025 | 08:08:32 WIB
Optimalisasi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Kian Krusial bagi Transisi Energi Indonesia

JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam transisi energi, terutama dalam meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Salah satu aspek penting dalam percepatan transisi ini adalah pengembangan industri manufaktur energi terbarukan yang dapat mengurangi ketergantungan pada impor serta menciptakan nilai ekonomi domestik.

Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 85 Tahun 2025, diproyeksikan bahwa produksi tenaga listrik pada 2060 akan mencapai 1.947 terawatt-jam (TWh). Dari total produksi tersebut, 73,6 persen akan berasal dari energi baru dan terbarukan seperti tenaga air, nuklir, angin, surya, arus laut, bioenergi, panas bumi, amonia, dan hidrogen hijau. Sisanya, 26,4 persen, masih akan menggunakan energi fosil dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Peluang dan Tantangan dalam Pengembangan Manufaktur Energi Terbarukan

Laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) bertajuk Market Assessment for Indonesia’s Manufacturing Industry for Renewable Energy, menyoroti potensi besar industri manufaktur energi surya, angin, dan baterai di Indonesia. Laporan ini menyebutkan bahwa sektor ini berpotensi menciptakan hingga 9,7 juta pekerjaan-tahun (job-years) serta memberikan nilai ekonomi mencapai 551,5 miliar dolar AS pada 2060.

Analis Data Energi IESR Abyan Hilmy Yafi menegaskan bahwa pengembangan industri manufaktur energi terbarukan sangat penting untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan global yang terus meningkat. "Selain memberikan kendali lebih besar atas pasar dan rantai pasok, langkah ini juga dapat memberdayakan bahan baku lokal serta mendorong pertumbuhan industri," ujar Hilmy di Jakarta.

Lebih lanjut, Hilmy menekankan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor teknologi energi bersih dapat diminimalisasi dengan membangun manufaktur dalam negeri yang kuat. "Dengan demikian, kita bisa menghindari dampak fluktuasi harga global dan memastikan kestabilan pasokan energi," tambahnya.

Rekomendasi Strategis untuk Penguatan Industri Manufaktur

Dalam studi tersebut, IESR memberikan empat rekomendasi utama untuk mempercepat pertumbuhan industri manufaktur energi terbarukan di Indonesia:

Memastikan rantai pasok industri manufaktur untuk panel surya, turbin angin, baterai, serta sektor engineering, procurement, construction (EPC).

Menyusun peta jalan adopsi energi terbarukan yang selaras dengan roadmap penguatan industri manufaktur energi terbarukan.

Memberikan insentif, pendanaan, dan kebijakan yang mendukung transformasi industri secara holistik.

Menyiapkan sumber daya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri energi hijau.

Hambatan dalam Pengembangan Energi Terbarukan

Meskipun memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.600 gigawatt (GW), dengan 3.200 GW berasal dari tenaga surya, realisasi pemanfaatannya masih sangat rendah. Hingga semester I-2024, energi surya yang berhasil dikembangkan baru mencapai 0,67 GW.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyoroti bahwa lambatnya adopsi energi terbarukan turut memperlambat pertumbuhan industri manufaktur di sektor ini. "Kerangka regulasi yang belum optimal, keterbatasan tenaga kerja terampil, serta lemahnya hubungan antara riset dan kebijakan energi menjadi hambatan utama yang harus segera diatasi," ungkapnya.

Saat ini, hanya ada satu produsen modul surya di Indonesia yang masuk dalam kategori tier-1, yaitu PT Trina Mas Agra Indonesia, hasil kolaborasi antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Sinar Mas Group, dan Trina Solar asal China. Pabrik yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah, ini memiliki kapasitas produksi 1 gigawatt-peak (GWp).

Peningkatan Infrastruktur PLTS dan Teknologi Penyimpanan Energi

Salah satu langkah strategis dalam memperluas pemanfaatan energi terbarukan adalah melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, ground-mounted, dan terapung. Pemerintah menargetkan pengembangan PLTS atap hingga 1 GW per tahun dengan kebutuhan sekitar 3,3 juta panel surya.

PLTS Terapung Cirata yang diresmikan pada November 2023 menjadi salah satu proyek penting dalam upaya ini. Dengan kapasitas 192 MWp dan 343.000 panel surya, proyek ini merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, hasil kerja sama PT PLN Nusantara Power dengan Masdar dari Uni Emirat Arab (UEA).

Dalam aspek penyimpanan energi, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, mengungkapkan bahwa pada 2060 kapasitas listrik terpasang akan mencapai 443 GW, di mana 41,6 persen berasal dari pembangkit variable renewable energy yang bergantung pada cuaca. "Untuk itu, penyimpanan energi seperti baterai dan hidrogen akan menjadi solusi utama dalam menyeimbangkan pasokan listrik," ujarnya.

Pemerintah terus memperkuat kebijakan terkait industri manufaktur energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan daya saing nasional. Dukungan terhadap industri sel surya dan modul surya terus diperkuat mengingat pasar energi terbarukan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat.

Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kemenperin, Solehan, menambahkan bahwa Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia masih dalam kondisi ekspansif dengan level di atas 50 poin selama tiga bulan berturut-turut. "Ini menunjukkan bahwa industri manufaktur kita memiliki potensi besar untuk berkembang, termasuk dalam sektor energi terbarukan," katanya.

Dengan langkah-langkah strategis ini, Indonesia diharapkan dapat mempercepat transisi energi dan mengoptimalkan potensi industri manufaktur energi terbarukan untuk mencapai target netral karbon pada 2060.

Terkini