Jakarta – Penurunan harga minyak mentah dunia sebesar 2,73% sejak awal tahun 2025 diproyeksikan akan berpengaruh signifikan terhadap sektor impor Indonesia, khususnya di sektor minyak dan gas (migas) yang berkontribusi sebesar 15,5% terhadap total impor nasional. Dengan dinamika harga minyak ini, Indonesia dapat berharap pada penurunan nilai impor di sektor yang sangat strategis dan dominan ini, Senin, 10 Maret 2025.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memberikan pandangan terang terkait situasi ini. “Pada tahun 2024 lalu, impor migas Indonesia mencapai US$ 36,3 miliar atau sekitar 15,5% dari total impor Indonesia,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif pada Senin, 10 Maret 2025. Penurunan harga minyak mentah dunia, menurut Josua, membuka peluang bagi Indonesia untuk mengurangi angka impor di sektor migas.
Penurunan ini diproyeksikan akan mendukung keseimbangan perekonomian Indonesia, meskipun dengan sejumlah tantangan. Josua Pardede memproyeksikan bahwa harga minyak mentah Brent akan berada pada level yang lebih rendah, berfluktuasi di kisaran US$ 70 hingga US$ 75 per barel hingga akhir tahun 2025. "Angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata harga pada 2024 yang mencapai US$ 80,7 per barel," tambah Josua.
Penurunan harga ini didorong oleh berbagai faktor eksternal. Salah satu faktor utama adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan melambat, terutama di tengah ketidakpastian akibat potensi perang dagang. "Selain itu, pasokan minyak global masih tergolong solid, dengan potensi peningkatan produksi dari negara-negara anggota OPEC," jelas Josua lebih lanjut.
Kondisi ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menyeimbangkan nilai impornya. "Dengan harapan harga minyak yang lebih rendah, impor diperkirakan tidak akan tumbuh setinggi sebelumnya, terutama impor migas," Josua menambahkan.
Namun demikian, Josua mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia masih menghadapi tantangan dalam neraca pembayaran. Ia mencatat bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi relatif baik di tahun ini, impor diprediksi akan tetap tumbuh lebih cepat dibandingkan ekspor. "Ini akan meningkatkan potensi defisit neraca pembayaran semakin melebar," jelasnya.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku dan barang modal menjadi salah satu poin yang perlu mendapat perhatian. Ketergantungan ini, menurut Josua, cenderung meningkat seiring dengan percepatan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pembangunan infrastruktur dan sektor swasta. Hal ini menambah kompleksitas dalam upaya menyeimbangkan ekspor dan impor.
Sementara itu, pemerintah Indonesia terus berupaya mengurangi ketergantungan terhadap impor dengan mendorong peningkatan kapasitas dan produk domestik, terutama di sektor energi terbarukan dan pengolahan minyak di dalam negeri. Langkah ini diharapkan dapat mendukung pencapaian stabilitas ekonomi dan mengurangi risiko terhadap fluktuasi harga minyak dunia.
Analis ekonomi lainnya juga menyuarakan optimisme, sembari memberikan catatan bahwa diperlukan kebijakan yang tepat untuk memanfaatkan momentum penurunan harga minyak. "Pengembangan sumber daya energi domestik harus dioptimalkan agar Indonesia bisa lebih mandiri dan tidak terlalu terpengaruh perubahan harga internasional," kata seorang analis di Jakarta.
Dalam beberapa tahun mendatang, strategi pengelolaan energi dan mitigasi risiko terhadap fluktuasi harga menjadi kunci untuk mendorong ketahanan ekonomi Indonesia. Pemerintah dan sektor bisnis diharapkan dapat berkolaborasi lebih erat guna mengembangkan solusi jangka panjang bagi ketahanan energi nasional.
Dengan situasi ini, penurunan harga minyak mentah dunia tidak hanya menjadi sebuah tantangan, tetapi juga kesempatan bagi Indonesia untuk mereformasi sektor energi dan mengurangi ketergantungan pada impor migas. Langkah ini sekaligus menjadi jalan menuju pencapaian visi ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan.