Jakarta - Pada awal tahun 2025, Indonesia mencatat deflasi beruntun selama dua bulan berturut-turut, yaitu Januari dan Februari. Meskipun demikian, Bank Indonesia (BI) menilai hal ini tidak berhubungan langsung dengan penurunan daya beli masyarakat. Menurut BI, inflasi inti, yang merupakan indikator lebih representatif dari interaksi penawaran dan permintaan, tetap terjaga stabil pada periode tersebut, Jumat, 7 Maret 2025.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pada Februari 2025, Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48% month to month (mtm). Sebagai perbandingan, pada bulan yang sama tahun 2024, terjadi deflasi sebesar 0,09% secara tahunan (year on year), dan secara tahun kalender deflasi mencapai 1,24%. Meskipun ada deflasi, angka ini merupakan penurunan dari deflasi Januari 2025, yang sebesar 0,76%. Secara tahunan, Januari 2025 mencatat inflasi sebesar 0,76%.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, menekankan pentingnya memperhatikan inflasi inti dalam menilai kondisi ekonomi. “Biasanya, untuk mengamati deflasi, kita melihat indikator yang lebih representatif, yaitu inflasi inti, karena lebih mencerminkan interaksi antara penawaran dan permintaan,” ujar Juli Budi Winantya dalam Taklimat Media di Tugu Kuntskring Palais, Jakarta, pada Jumat, 7 Maret 2025.
Komponen inti menunjukkan bahwa pada Februari 2025, inflasi inti secara tahunan mengalami kenaikan menjadi 2,48%. Indeksnya naik dari 103,37 di Februari 2024 menjadi 105,93 di Februari 2025. Komponen inti ini memberikan andil inflasi sebesar 1,58% pada Februari 2025, sementara secara bulanan mengalami inflasi sebesar 0,25% dengan kontribusi 0,16% terhadap inflasi Februari 2025.
“Terkait dengan inflasi inti, hingga Februari, inflasi inti tahunan berada di kisaran 2,48%. Angka ini masih tergolong rendah dan stabil, bahkan di tengah potensi deflasi di beberapa sektor,” tambah Juli Budi Winantya.
Meskipun BI menganggap situasi ini sebagai tanda stabilitas, beberapa pihak lain melihat adanya potensi risiko. Sekjen Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Anggawira, mengingatkan bahwa deflasi berkepanjangan perlu diwaspadai. Menurutnya, deflasi bisa menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih waspada dalam menjaga stabilitas ekonomi.
“Deflasi dua bulan ini menjadi alarm agar pemerintah lebih waspada dalam menjaga stabilitas ekonomi,” tegas Anggawira. Dia menambahkan bahwa meskipun deflasi bisa memberikan keuntungan bagi konsumen melalui turunnya harga barang dan jasa, dalam jangka panjang, hal tersebut bisa menjadi indikasi melemahnya permintaan masyarakat, melambatnya produksi, dan berkurangnya aktivitas ekonomi.
Deflasi juga merujuk pada adanya tekanan di sektor riil, seperti penurunan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kondisi ini, menurut Anggawira, dapat dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas tertentu, termasuk bahan makanan, serta penyesuaian harga setelah periode belanja tinggi akhir tahun.
Menghadapi situasi ini, Anggawira menyarankan pemerintah dan pihak terkait untuk mengambil langkah terpadu. “Perlu upaya terpadu dalam menjaga pasokan, mengendalikan harga, dan memperkuat daya beli agar momentum Ramadan dan Lebaran menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dan stabil,” lanjut Anggawira.
Dalam konteks Indonesia, deflasi yang berkelanjutan dapat mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pemantauan ketat dan kebijakan yang tepat sangat penting untuk memastikan perekonomian Indonesia tetap berada di jalur yang benar. Hal ini terutama penting menjelang periode Ramadan dan Lebaran, yang biasanya memicu peningkatan aktivitas ekonomi dan konsumsi.
Secara keseluruhan, meskipun inflasi inti tetap menunjukkan stabilitas, pengaruh deflasi pada sektor riil harus diwaspadai. Dengan menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan serta mengambil langkah strategis dalam kebijakan ekonomi, diharapkan Indonesia dapat melewati tantangan ekonomi di awal tahun 2025 ini dengan lebih baik.