Jakarta - Pada awal pekan ini, pasar minyak dunia mencatat lonjakan harga sebesar 1%, didorong oleh data manufaktur China yang positif, memicu harapan akan peningkatan permintaan bahan bakar. Namun, di tengah optimisme tersebut, kekhawatiran mengenai ketidakpastian ekonomi global akibat potensi tarif baru dari Amerika Serikat tetap membayangi pasar, Senin, 3 Maret 2025.
Melansir data dari Refinitiv, harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan sebesar 76 sen, setara 1%, sehingga mencapai harga US$73,57 per barel pada pukul 09.06 WIB. Di sisi lain, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) juga bertambah 75 sen atau meningkat 1,1%, menjadi US$70,51 per barel.
Pasar merespons secara positif data resmi yang dikeluarkan Sabtu lalu yang menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur di China tumbuh pada laju tercepat dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan ini didukung oleh pesanan dan volume pembelian yang lebih tinggi, yang pada akhirnya mendorong kenaikan produksi. Para investor kini mengalihkan perhatian mereka kepada pertemuan parlemen tahunan China yang akan berlangsung pada 5 Maret mendatang, untuk mencari petunjuk lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang akan diambil guna menopang ekonomi negara tersebut yang masih tertekan.
Tony Sycamore, Analis Pasar dari IG, menyatakan, "Indeks manufaktur NBS China yang kembali ke zona ekspansi adalah salah satu faktor pendorong kenaikan harga minyak saat ini." Namun, ia juga mengingatkan bahwa masih ada ketidakpastian yang membayangi prospek ekonomi China, terutama setelah pengumuman tarif baru AS sebesar 10% yang akan diberlakukan mulai 4 Maret.
Perbankan investasi terkemuka, Goldman Sachs, berpendapat bahwa data ini mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi China cukup stabil, bahkan menunjukkan sedikit perbaikan di awal 2025. Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa China mungkin akan mengambil langkah balasan terhadap kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh AS.
Dalam catatan Reuters, harga minyak Brent dan WTI bulan Februari lalu menurun untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir. Ini disebabkan oleh kekhawatiran pasar atas dampak negatif dari tarif AS dan mitra dagangnya terhadap pertumbuhan ekonomi global serta meningkatnya risiko bagi para investor.
Selain itu, sentimen pasar juga sedikit terangkat setelah pertemuan puncak para pemimpin Eropa pada Minggu lalu, di mana mereka menegaskan dukungan mereka untuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Dukungan ini datang setelah Zelenskiy mengalami ketegangan politik dengan Presiden AS Donald Trump yang membuatnya mempersingkat kunjungannya ke Washington.
Terdapat pula isu geopolitik yang mempengaruhi harga minyak. Serangan ke kilang minyak Rusia menambah kekhawatiran mengenai ekspor produk olahan dari negara tersebut. Sebuah insiden kebakaran dilaporkan terjadi di sebuah fasilitas di kota Ufa, yang semakin memperburuk situasi pasokan minyak.
Memandang tahun 2025, para analis memprediksi bahwa harga minyak Brent rata-rata akan berada di sekitar US$74,63 per barel. Prediksi ini didasarkan pada keseimbangan antara potensi sanksi baru dari AS, pasokan yang cukup, dan kemungkinan tercapainya kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina, seperti diungkap dalam jajak pendapat Reuters.
Amerika Serikat terus berupaya mendesak Irak untuk melanjutkan ekspor minyak dari wilayah semi-otonom Kurdistan. Namun, delapan perusahaan minyak internasional yang beroperasi di wilayah tersebut menyatakan bahwa mereka belum akan melanjutkan pengiriman melalui pelabuhan Ceyhan di Turki. Hal ini disebabkan oleh belum tercapainya kejelasan terkait perjanjian komersial dan jaminan pembayaran yang diharapkan.
Secara keseluruhan, meskipun terdapat data positif dari China yang membangkitkan harapan, dinamika kompleks yang melibatkan tarif AS, geopolitik global, dan tantangan komersial di Timur Tengah, tetap menjadi faktor yang mempengaruhi pergerakan harga minyak di pasar dunia.