Erick Thohir dan Tantangan ABBA di Tengah Ancaman Delisting

Selasa, 01 Juli 2025 | 08:36:06 WIB
Erick Thohir dan Tantangan ABBA di Tengah Ancaman Delisting

JAKARTA - Di tengah gempuran era digital yang tak kenal kompromi, PT Mahaka Media Tbk (ABBA) masih berjuang mempertahankan eksistensinya. Perusahaan milik keluarga Thohir ini, dengan figur Erick Thohir Menteri BUMN sekaligus pengawas Danantara Group berada dalam tekanan bertubi-tubi baik dari sisi bisnis inti maupun kondisi keuangan. Meski sempat menjadi pemain utama dalam industri media konvensional, kini ABBA harus menghadapi kenyataan sebagai emiten media yang kian terdesak dan berada di bawah harga gocap.

Didirikan di era kejayaan media cetak, ABBA adalah satu dari sedikit yang masih tersisa. Di bawah payung PT Beyond Media sebagai pemegang saham utama (40,5%), perusahaan ini berkantor pusat di Sahid Sudirman Centre dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia sejak 2002. Sampai kuartal I 2025, jumlah karyawan perusahaan naik menjadi 248 orang dari sebelumnya 225, sinyal yang bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk memperluas kapasitas atau sekadar penyesuaian struktur operasional.

Struktur direksi dipimpin Ronny Wilimas Sugiadha, sementara kursi komisaris utama diisi oleh Rudy Setia Laksmana. Namun, siapa pun yang berada di balik kemudi, mereka menghadapi situasi keuangan yang kompleks dan penuh tantangan.

Model Bisnis Tiga Kaki

ABBA mengandalkan tiga segmen utama: konten (Republika, buku, digital, TV), jasa (event organizer dan media buying), serta properti (pengelolaan Mahaka Square). Sayangnya, kekuatan jaringan yang tampak dari luar tak cukup untuk menyelamatkan ABBA dari ketimpangan kinerja dan tekanan arus kas.

Pendapatan kuartal I 2025 mencapai Rp47,75 miliar, naik 14,8% secara tahunan (yoy). Namun, kontribusinya sangat timpang: event organizer menyumbang 31%, media buying 28%, iklan 22%, sewa properti 17%, dan sisanya dari TV serta layanan IT. Media buying mencatat pertumbuhan signifikan—naik 116% yoy—tetapi margin labanya sangat tipis. Lebih parah, segmen digital marketing yang tahun lalu menyumbang Rp7 miliar, kini hilang total. Itu menandakan potensi bisnisnya musiman dan tidak berkelanjutan.

Hanya dua segmen, yakni event dan sewa properti, yang masih membukukan laba. Lainnya merugi atau impas. Volume usaha boleh meningkat, tapi tanpa margin yang sehat, laba usaha tetap negatif.

Masalah Neraca dan Utang

Total aset ABBA per Maret 2025 tercatat Rp231,1 miliar, turun 4,9% dibanding akhir tahun sebelumnya. Komposisi aset menunjukkan dominasi piutang usaha (22%), aset keuangan (18,6%), piutang berelasi (11%), dan kas yang hanya Rp15,6 miliar atau 6,8% dari total aset. Sementara itu, liabilitasnya melonjak menjadi Rp350,5 miliar. Dengan ekuitas defisit Rp119,5 miliar dan rugi akumulatif Rp354,1 miliar, ABBA berada dalam posisi modal yang sudah ‘terbakar’.

Utang berbunga tercatat Rp100,7 miliar, sedangkan kas dari operasi tahunan yang disetahunkan hanya Rp7,9 miliar. Butuh waktu lebih dari 13 tahun untuk melunasi seluruh utang berbunga jika hanya mengandalkan arus kas operasional. Padahal, indikator sehat mestinya tak lebih dari lima tahun. Dengan kas hanya Rp15,6 miliar dan net debt Rp85,1 miliar, tekanan likuiditas ABBA nyaris tak tertahankan.

Sementara itu, piutang usaha mencapai Rp54,9 miliar, termasuk Rp3,9 miliar dari pihak berelasi, dengan DSO 96 hari—tergolong panjang untuk industri media. Piutang ke afiliasi Rp25,3 miliar sebagian besar tanpa bunga, sementara utang ke afiliasi dibebani bunga tinggi hingga 12%. Ini menciptakan red flag besar dalam pengelolaan relasi usaha, bahkan menimbulkan kecurigaan soal transfer pricing yang menyimpang.

Laporan Laba dan Arus Kas

Meski revenue naik dan GPM membaik ke 37%, ABBA tetap mencatat rugi usaha Rp2,48 miliar, rugi sebelum pajak Rp5,12 miliar, dan rugi tahun berjalan Rp5,76 miliar. Rugi ini lebih kecil dari tahun lalu (Rp11,3 miliar), tetapi bukan karena pertumbuhan melainkan efisiensi biaya.

CFO kuartalan tercatat positif Rp1,97 miliar, naik dari minus Rp12,9 miliar. Namun, ini terjadi bukan karena laba, melainkan karena pemangkasan pembayaran ke pemasok. Capex minim hanya Rp0,20 miliar. Sementara pengeluaran dari aktivitas pembiayaan mencapai Rp8,14 miliar, menyebabkan kas turun 29% dalam tiga bulan.

Likuiditas ABBA sangat lemah: current ratio 0,54, quick ratio 0,53, dan cash ratio 0,08. Situasi makin pelik dengan ketidakseimbangan transaksi pihak berelasi. Utang ke entitas terafiliasi dibebani bunga tinggi, tapi piutang ke afiliasi diberikan tanpa bunga dan tanpa jadwal jatuh tempo yang jelas.

Anak Usaha Merugi dan Risiko Tetap Tinggi

ABBA memiliki lebih dari 30 anak usaha. Dari semuanya, hanya Gamma Investa (pengelola Mahaka Square) dan Kalyanamitra (event organizer) yang mencetak laba. Sementara anak-anak seperti Danapati Abinaya (TV) dan Republika Media Visual (koran digital) mengalami kerugian kronis sejak 2018. Ekuitas non-pengendali negatif Rp131 miliar menandakan bahwa mayoritas anak usaha ini justru menjadi beban.

Rasio keuangan ABBA menggambarkan kondisi kritis: GPM 37%, OPM -9%, NPM -12%, ROA -2,5%, dan DER tidak bermakna karena ekuitas negatif. DSO 96 hari, DPO 122 hari, dan days inventory hanya 5 hari, menghasilkan cash conversion cycle negatif 21 hari—berarti seluruh siklus kas dibiayai vendor.

Valuasi saham ABBA juga menegaskan tekanan yang ada. Dengan harga Rp37 dan market cap Rp146,6 miliar, tidak ada perhitungan valuasi yang bermakna: EV/EBITDA tak bisa dihitung karena EBITDA negatif, PER negatif, dan PBV nihil karena defisit ekuitas.

Bagi investor spekulatif, ABBA mungkin tetap menarik. Tapi harapan hanya hidup jika tiga hal terjadi bersamaan: EBITDA tahunan kembali ke Rp40 miliar melalui monetisasi Mahaka Square, masuknya strategic investor atau rights issue senilai Rp119,5 miliar, serta konversi utang relasi menjadi ekuitas.

Jika ketiga hal itu terwujud, harga saham bisa beranjak ke Rp90–120. Jika tidak, potensi tetap stagnan di bawah gocap atau bahkan tereliminasi dari bursa. Sejauh ini, risiko sangat tinggi dan red flag terlalu banyak.

Erick Thohir mungkin adalah nama besar. Tapi bahkan nama sebesar itu pun belum tentu cukup menyelamatkan Mahaka Media dari kubangan defisit. Pilihannya jelas: siap menunggu keajaiban, atau cari saham lain yang lebih bisa diandalkan.

Terkini