Infrastruktur Jalinsum Dolok Ulu Aer Rusak Parah, Warga Kecewa Meski Tetap Diminta Bayar Pajak

Selasa, 10 Juni 2025 | 10:09:03 WIB
Infrastruktur Jalinsum Dolok Ulu Aer Rusak Parah, Warga Kecewa Meski Tetap Diminta Bayar Pajak

JAKARTA – Warga Desa Ulu Aer, Kecamatan Dolok, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara, menyuarakan kekecewaan mendalam atas rusaknya infrastruktur jalan utama di wilayah mereka. Di tengah gencarnya imbauan pemerintah untuk taat membayar pajak, masyarakat justru mempertanyakan keadilan pelayanan publik yang tidak sebanding dengan kontribusi fiskal yang mereka berikan. Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) yang menjadi nadi penghubung antarwilayah di desa tersebut rusak berat dan tidak pernah mendapat perbaikan memadai.

Kerusakan jalan yang berlangsung bertahun-tahun itu dinilai warga sebagai bentuk ketidakadilan dan pengabaian dari pemerintah daerah maupun pusat. Padahal, Jalinsum adalah bagian vital dari jaringan infrastruktur nasional yang seharusnya menjadi prioritas dalam perawatan dan peningkatan kualitas.

Jalan Nyaris Putus, Keselamatan Pengguna Terancam

Pantauan langsung di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur Jalinsum di wilayah Dolok Ulu Aer mengalami kerusakan serius di sejumlah titik. Lubang besar menganga di badan jalan dengan panjang ratusan meter. Di beberapa lokasi, badan jalan bahkan mengalami ambles, mempersempit lajur kendaraan dan menimbulkan risiko tinggi kecelakaan lalu lintas. Warga dan pengguna jalan, termasuk pengemudi truk angkutan hasil pertanian seperti kelapa sawit, harus ekstra hati-hati saat melintas.

“Setiap hari kami melewati jalan yang rusak parah ini. Banyak kendaraan rusak, bahkan sering terjadi kecelakaan,” ungkap Madayan Hasibuan, salah seorang warga Ulu Aer. Ia menambahkan bahwa beban warga semakin berat karena mereka kerap mengeluarkan dana sendiri untuk memperbaiki jalan darurat agar tetap bisa dilalui.

Menurut warga, kerusakan jalan tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada perbaikan menyeluruh dari pihak terkait. Yang terjadi hanya tambal sulam seadanya yang tidak bertahan lama. Ironisnya, di saat bersamaan, pemerintah justru aktif meminta masyarakat agar taat membayar pajak.

Infrastruktur Rusak vs Kewajiban Pajak

Situasi ini menciptakan dilema tersendiri bagi masyarakat. Di satu sisi, mereka diimbau untuk segera menyelesaikan kewajiban pembayaran pajak, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) maupun Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Namun di sisi lain, fasilitas publik yang menjadi hak dasar warga justru terabaikan.

“Kami bayar pajak terus, tapi jalan utama kami malah makin rusak. Kami tidak merasa mendapat timbal balik yang adil,” keluh Madayan. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan kolektif warga yang selama ini tetap mematuhi kewajiban fiskal namun tidak merasakan manfaat langsung dari pajak yang mereka setorkan.

Dalam teori keuangan publik, pajak memang menjadi tulang punggung pembiayaan negara, termasuk untuk pembangunan infrastruktur. Namun, kepercayaan publik bisa menurun drastis bila realisasi pembangunan tidak terasa atau terlihat langsung oleh masyarakat. Ketidakhadiran pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan bisa memicu apatisme fiskal atau bahkan resistensi terhadap kebijakan perpajakan.

Ancaman Boikot Pajak di Tengah Ketimpangan Pembangunan

Kondisi serupa ternyata juga dialami oleh sejumlah daerah lain di Sumatera Utara, seperti di Kabupaten Padanglawas. Di wilayah ini, sejumlah kelompok masyarakat bahkan mengancam akan memboikot pembayaran pajak bila tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur Jalinsum yang rusak parah.

Boikot pajak bukan sekadar wacana emosional, melainkan bentuk protes keras terhadap ketimpangan pembangunan. Dalam banyak kasus, protes semacam ini muncul ketika masyarakat merasa bahwa negara hanya menuntut kewajiban tanpa memberikan hak pelayanan dasar secara seimbang.

“Pajak itu harus dibarengi dengan pembangunan. Kalau kami terus dipungut pajak, tapi tidak diberi akses jalan yang layak, untuk apa?” kata seorang tokoh masyarakat setempat yang enggan disebutkan namanya.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Kerusakan infrastruktur jalan di Dolok Ulu Aer tidak hanya berdampak pada keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan, tapi juga merugikan sektor ekonomi lokal. Hasil pertanian seperti kelapa sawit dan karet yang menjadi komoditas utama warga menjadi terhambat dalam distribusinya. Biaya angkut meningkat, harga jual menurun, dan akses pasar menjadi sulit dijangkau.

Selain itu, kerusakan jalan juga memengaruhi mobilitas masyarakat dalam menjalani aktivitas sosial dan ekonomi. Akses ke fasilitas kesehatan, pendidikan, dan pasar menjadi terganggu. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi memperparah kemiskinan struktural di wilayah tersebut.

Harapan Masyarakat dan Desakan Perbaikan

Warga berharap pemerintah segera turun tangan memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak. Mereka menuntut transparansi penggunaan dana pajak, terutama yang bersumber dari wilayah mereka sendiri. Perbaikan Jalinsum dianggap sangat mendesak mengingat posisinya sebagai jalur vital antarprovinsi.

“Kami tidak minta jalan tol, kami hanya ingin jalan aspal yang layak dan aman dilalui. Itu hak kami sebagai pembayar pajak,” tegas Madayan Hasibuan.

Menurut pengamat infrastruktur dan tata kelola publik, Dr. Edy Syahputra, kondisi seperti ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem alokasi anggaran pembangunan berbasis kebutuhan daerah.

“Pemerintah pusat dan daerah harus lebih responsif terhadap keluhan warga. Infrastruktur dasar seperti jalan adalah hak publik yang seharusnya jadi prioritas, terutama jika masyarakat sudah membayar pajak secara rutin,” ungkap Edy.

Perlu Tindakan Konkret, Bukan Sekadar Imbauan

Masyarakat Dolok Ulu Aer dan sekitarnya tidak menolak kewajiban membayar pajak. Mereka hanya menuntut keadilan dan pelayanan publik yang memadai. Imbauan pemerintah untuk taat pajak harus dibarengi dengan tindakan nyata, seperti perbaikan infrastruktur, agar kepercayaan publik tetap terjaga.

Tanpa kehadiran negara dalam menjamin infrastruktur dasar, maka semangat partisipasi fiskal masyarakat akan terkikis. Saat jalan terus rusak dan suara warga terus diabaikan, maka bukan tidak mungkin boikot pajak akan menjadi kenyataan.

Dengan demikian, keadilan fiskal dan keadilan infrastruktur harus berjalan beriringan. Pajak yang dibayar rakyat seharusnya kembali ke rakyat dalam bentuk pelayanan dan fasilitas publik yang nyata, bukan hanya janji pembangunan di atas kertas.

Terkini